20111023

cerita silat : PENDEKAR MABUK - NAGA PAMUNGKAS







Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Naga Pamungkas

1
SEKELEBAT bayangan melintasi hutan di
kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan
nama Bukit Mata Langit. Tak ada orang yang
berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit
itu, karena mereka takut terperosok ke
sebuah lubang yang amat dalam. Lubang itu
tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak
mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman
rambat yang menutup rapat lubang tersebut
seolah-olah berguna sebagai tanaman
penjebak. Kelihatannya tempat itu datar dan
bertanaman rambat biasa, tapi sebenarnya di
bawah tanaman rambat itu terdapat lubang
besar yang mengerikan. Lubang itu dikenal
orang dengan nama Sumur Tembus Jagat.
Hanya orang-orang yang tersesat saja yang
berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata
Langit itu. Salah satu orang yang tersesat
adalah pemuda berpakaian coklat dengan
celana putih. Pemuda itu berambut panjang
dan mempunyai ketampanan menghebohkan
kaum wanita. Di punggung pemuda itu
tersandang sebatang bambu tempat tuak.
Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh dunia
persilatan sudah tak asing lagi dan sangat
mengenalnya. Pemuda itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenal
dengan nama Suto Sinting.
"Kurang ajar! Lari ke mana dia tadi?
Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah
sana. Sebaiknya kuhadang lewat sini saja,"
pikir Suto dengan mulai melangkah
mengendap-ngendap. Rimbunan semak
dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak
berkedip menatap bagian bawah semak-semak
itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak
menimbulkan bunyi yang mencurigakan.
Slap, slap...!
Bayangan putih melompat dari bawah
semak belukar itu, menerobos masuk ke
rimbunan semak tak berduri. Pendekar Mabuk
cepat sentakkan kaki dan ikut menerabas
semak tak berduri. Bruus...! Buh...!
"Auh...!"
Pendekar Mabuk terpekik karena sakit.
Rupanya di dalam semak tak berduri itu
terdapat bongkahan batu besar yang tertutup
hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar Mabuk
menabrak batu itu hingga terpaksa pejamkan
mata sesaat karena menahan rasa sakit di
tulang hidungnya.
"Sial! Untung tulang hidungku tak sampai
patah!" gerutunya sambil mengusap-usap
wajah. Dagunya pun terasa sakit karena diadu
dengan batu.
Slap, slap...!
Bayangan putih melesat lagi meninggalkan
semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan
diri ke arah yang sama, lalu menerkam bagai
seekor singa. Bruuus...!
"Kena kau sekarang!" Seekor kelinci hutan
tergenggam di kedua tangan Pendekar Mabuk.
Kelinci hutan itu berusaha meronta dengan
matanya yang memancarkan ketakutan, tapi
kedua tangan Suto semakin erat
menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun
menampakkan kelegaan hatinya. Kelinci
buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk
dijadikan santapan dengan membakarnya.
Tetapi mata bening sang kelinci membuat
Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk
membunuh binatang tersebut. Mata bening
binatang itu bagai memandangi Suto dan
mohon belas kasihan.
"Ah, kau...!" gumam Suto dengan hati
mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga
membuat hatiku iba. Ah, benar-benar tak tega
kalau aku harus menyantap mu. Tapi....
perutku lapar, suaranya sampai seperti lesung
bertalu. Aku harus menyantapmu, Kelinci yang
baik hati. Maafkan aku."
Mata kelinci itu berkedip-kedip seakan
pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk
itu kian bimbang diguncang rasa iba hati.
"Ah, kasihan sekali kau. Kenapa wajahmu
tidak buruk saja, supaya aku tega
menyantapmu? Kau terlalu manis dan lembut.
Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan
lapar untuk sementara. Pergilah sana. Aku tak
jadi menyantapmu." kata Suto Sinting sambil
melepaskan binatang tersebut. Tambahnya
lagi, "Tolong panggilkan serigala. Biar aku
menyantap dagingnya sebagai penggantimu,
Kelinci!"
Slap, slap...!
Kelinci itu melompat dua kali, kemudian
berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan
pemuda itu tersenyum sambil geleng-geleng
kepala. Kelinci itu pun melompat lagi
beberapa kali dan masuk ke semaksemak
tanaman berdaun lebar. Bruush...!
Pendekar Mabuk segera meraih bumbung
tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu
beberapa teguk. Napasnya terhempas lepas
menandakan kelegaan. Walau perut lapar,
asal sudah kemasukan tuak, rasa lapar itu
bagaikan mereda untuk beberapa saat. Suto
Sinting memang merasa lebih baik menahan
rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak.
Ia paling tak bisa menahan haus tuak.
Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan
melebihi sepiring nasi, bahkan menyamai
kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang
dibakar. Walau kadang Suto merasa bosan
dengan tuak dan ingin sesekali menelan nasi
atau daging dan makanan lainnya, tapi jika
memang tak ada makanan lainnya, tuak pun
masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.
Suto Sinting baru saja ingin melangkahkan
kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun
lebar tempat menghilangnya kelinci itu
muncul seraut wajah cantik berkulit kuning.
Tentu saja Suto Sinting terkejut kaget dan
jadi terbengong beberapa saat.
"Lho...? Kelinci itu kusuruh memanggil
serigala tapi kenapa yang muncul seraut
wajah cantik? Jangan-jangan kelinci itu
tak bisa membedakan antara serigala dan
gadis cantik? Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam
Suto dalam hati.
Wajah cantik itu tampak menyimpan
ketegangan. Wajah cantik itu pun
menyembunyikan kecemasan di balik sikap
tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting.
Pakaiannya yang berwarna merah muda
sangat memancing perhatian, karena pada
bagian dadanya terbuka sedikit lebar,
sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih
jelas dan sepertinya tantangan lain bagi Suto.
Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun
tantangan adu kekuatan batin. Dan ternyata
batin Suto masih kuat untuk tidak mudah
tergiur dan terpancing bayangan mesra
kepada gadis berambut panjang itu.
"Apakah kau jelmaan seekor kelinci yang
tadi kutangkap dan kulepaskan lagi, Nona?"
tegur Suto Sinting dengan senyum dan
keramahan yang membuat gadis itu justru
merasa kian cemas. Ia mundurkan langkah
satu tindak dengan mati tak berkedip.
Suto merasa heran melihat sikap sang
gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis
itu justru melompat mundur dan mencabut
pedangnya yang terbuat dari logam kuningan.
Sraaang...!
Mau tak mau Pendekar Mabuk hentikan
langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan
siap serang dengan jurus pedangnya. Bibirnya
yang mungil dan tampak selalu basah itu
masih terkatup tanpa berucap sedikitpun.
Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang
menatap tajam bersikap bermusuhan.
"Sekali lagi aku hanya ingin bertanya,
apakah kau jelmaan dari kelinci yang
kulepaskan tadi?"
Gadis itu diam saja. Matanya sedikit
menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak.
Tapi tiba-tiba gadis itu sentakkan kakinya ke
tanah dan melompat menyerang Pendekar
Mabuk. Dengan cepat bambu tuak diraih Suto
dan berkelebat menangkis tebasan pedang
gadis berpakaian merah jambu itu. Traang...!
Pedang itu bagaikan membentur sebongkah
besi baja. Benturan pedang dengan bambu
tuak memercikkan bunga api warna merah.
Akibat benturan pedang dengan bambu telah
membuat tubuh gadis itu terpental. Kekuatan
tenaga dalam yang menghantam bambu lewat
pedangnya telah berbalik mengenai dirinya
sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya
terjungkal ke belakang dalam keadaan hilang
keseimbangan. Brrug...!
Jaraknya hanya empat langkah dari tempat
Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau
menyerangnya, itu bukan pekerjaan yang
sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau
memberikan serangan balasan. Ia hanya
melangkah satu tindak lagi dan si gadis
buru-buru bangkit dari kejatuhannya. Kudakuda
terpasang lagi, mata semakin tajam,
napas kian menderu.
"Tulangku terasa ngilu semua," pikir gadis
itu. "Kekuatan apa yang ada pada bambu itu,
sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik
menyerangku? Rupanya pemuda ini bukan
manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh
menganggap remeh kepadanya. Hmmm... tapi
ketampanannya membuat keberanianku
sempat susut beberapa kali. Kurang ajar!
Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus
bisa melupakannya kalau tak ingin mati di
ujung bambunya itu!"
"Tahan seranganmu, Nona," kata Suto
Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu.
Toh aku telah melepaskanmu dan tak jadi
menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin
gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.
Sang gadis masih belum mau bicara kecuali
hanya memandang tajam. Tak ada kesan
bersahabat atau ramah sedikit pun. Yang ada
hanya kesan sinis. Bahkan cenderung
menampakkan sikap angkuhnya.
"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku
tak tega menyantapmu? Kenapa kau masih
memusuhiku? Apakah kau pikir aku masih ingin
menyantapmu?"
"Tutup mulutmu, Pemuda Binal!" geram
gadis itu. Suto hanya tertawa kecil mendengar
dirinya dipanggil pemuda binal oleh gadis itu.
"Aku bukan pemuda binal. Aku pemuda
sinting, sebab namaku Suto Sinting!"
Tiba-tiba gadis itu mengendurkan
ketegangannya. Matanya yang tajam dalam
memandang kini sudah mulai surut dan
berangsur-angsur lembut. Sikap kudakudanya
pun mulai tegak. Tapi pedangnya
masih tergenggam erat di tangan.
"Ben... benarkah kau... kau bernama Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dalam ulasan senyum
tipis yang menambah pesona ketampanannya.
Gadis itu menjadi gelisah menerima
tatapan mata yang begitu lembut dari Suto
Sinting. Kegelisahan tersebut segera ditutupi
dengan sikap curiga yang dibuat-buat. Gadis
itu memaksakan diri untuk tersenyum sinis.
"Tak mungkin kau si Pendekar Mabuk yang
kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan
keluyuran ke hutan ini. Karena di sini tak ada
pusaka dan orang sakti."
"Kau pikir aku mencari pusaka? Oh, tidak.
Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini
karena tersesat gara-gara mengejarmu tadi."
Dahi si cantik berkerut. "Mengejarku?"
"Maksudku, waktu kau menjadi kelinci
tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan
santapanku. Tapi begitu kau berubah menjadi
gadis yang cantik, aku malu untuk
menyantapmu dan..."
"Aku bukan siluman kelinci!" sergah gadis
itu. "Aku manusia biasa dan seumur hidupku
belum pernah berubah menjadi kelinci."
"O, maaf. Jadi...," Suto tertawa, tak jadi
melanjutkan kata-katanya karena merasa
malu dengan salah duganya itu.
"Namaku Citradani, bekas murid Perguruan
Kuil Elang Putih."
"Ooo...." Suto manggut-manggut. "Kalau
begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"
Citradani terkejut. "Kau mengenal bekas
guruku itu?"
"Cukup kenal. Juga kepada Anjarwati,
Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku
pun mengenal mereka. Bukankah mereka
teman-temanmu?"
"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi."
jawab Citradani sambil memasukkan pedang
ke dalam sarungnya.
"Kenapa kau sampai keluar dari Kuil Elang
Putih?"
"Karena melanggar kesalahan." Citradani
kelihatan sedih mengenang masa lalunya. Ia
bersandar di sebuah pohon dalam keadaan
masih berdiri. Suto kian mendekat, matanya
memandang sekeliling sebagai tanda bahwa ia
selalu waspada di mana pun berada.
"Kalau boleh kutahu, apa kesalahanmu
terhadap Kuil Elang Putih?"
"Aku menghilangkan sebuah pusaka yang
bernama Lintang Suci."
"Lintang Suci? Sebuah pedang atau..."
"Sebuah kalung," jawab Citradani dengan
memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung itu
bisa untuk mengubah-ubah diri menjadi
bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah
patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai
emas kalung itu, sebab rantai tersebut
terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu
orang yang bisa menyambung rantai emas
keramat itu. Orang tersebut adalah Ki
Padmanaba..."
Suto terperanjat. "Ki Padmanaba?! Dia
sekarang sudah meninggal!"
"Mungkin saja begitu. Karena peristiwa
yang kualami itu sudah cukup lama. Aku
ditugaskan membawa pusaka Lintang Suci
kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut
sudah tersambung rantainya, tugasku adalah
membawa pulang kepada Guru Ratu Embun
Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh
seorang pemuda, dan kami pun saling
berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda
itu sudah lama mengincar kalung Lintang Suci.
Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu
berhasil dicurinya dan dia pergi entah ke
mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih,
tak diizinkan kembali ke sana jika tidak
bersama pusaka tersebut. Mau tak mau aku
harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu
supaya aku bisa diterima kembali di Kuil Elang
Putih."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepalanya.
"Sampai sekarang kau belum temukan di mana
pemuda itu berada?"
"Belum. Sesekali aku melihat kelebatan
bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia bisa
menghilang dalam persembunyiannya. Aku
selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku
melihatnya melintas kemari. Kukejar dia dan
akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahutahu
aku bertemu denganmu. Aku sangsi,
kusangka kau adalah pemuda itu yang
merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang
Suci itu."
"Lalu, kau percaya kalau aku bukan
pemuda itu?"
"Percaya."
"Apa yang membuatmu percaya padaku?"
"Tebasan pedangku walaupun ditangkis
akan memudarkan samarannya dan
membuatnya kembali ke wujud aslinya."
"Ooo...," Suto manggut-manggut. Ia ingin
bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya
berkelebat cepat menempel di dada
Citradani.
Citradani terpekik kaget dan malu,
dadanya terpegang oleh tangan Suto.
Plaaak...!
Sebuah tamparan pedas diterima oleh pipi
Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya
sempat merah sedikit.
"Kurang ajar kau!" gertak Citradani.
"Maaf..." kata Suto, lalu tangan yang tadi
menempel di dada Citradani hingga
menyentuh ujung bukitnya itu kini
diperlihatkan kepada gadis itu.
Sebuah senjata rahasia telah terselip di
antara jemari Suto. Citradani terperanjat dan
segera menyadari apa sebenarnya yang
dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar
Mabuk baru saja menyelamatkan jiwa
Citradani dari ancaman senjata rahasia yang
dilemparkan oleh seseorang dari tempat yang
tersembunyi. Senjata rahasia itu berupa
sepotong bulu landak yang tajam dan beracun
ganas. Jika tangan Suto tidak menutup ujung
bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu
yang akan menancap di sana. Tapi dengan
gerakan tangan Suto menutup ujung bukit
dada Citradani, maka senjata rahasia itu
hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit
kuat agar tak menyentuh kulit dada gadis itu.
"Kau mengenal siapa pemilik senjata ini?"
tanya Suto Sinting.
"Tidak. Tapi aku melihat sekelebat
bayangan lari ke sana. Aku akan
mengejarnya!"
"Tunggu dulu, aku akan...."
Wuuusss...!
Citradani sudah melesat lebih dulu
sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan
gerakannya yang menyerupai hembusan angin
itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya
berilmu tinggi. Setidaknya ia mempunyai ilmu
tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Suto
memang bisa mengungguli kecepatan gerak
Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik
dengan suara teriakan seseorang yang
terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Toloong...!"
Suara itu kecil sekali, kentara kalau
letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk
pun segera melesat ke arah yang berlawanan
dengan Citradani.
"Biarlah Citradani mengejar penyerang
gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga
diri dengan ketinggian ilmunya itu. Aku akan
menolong seseorang yang agaknya dalam
bahaya besar," kata Suto membatin. Suara
orang minta tolong itu hanya sesekali
terdengar. Sepertinya orang tersebut
berusaha untuk melepaskan diri dan
kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut
gagal, sehingga sesekali ia berteriak minta
tolong. Pendekar Mabuk sempat kehilangan
arah ketika suara teriakan itu menghilang. Ia
kebingungan mengambil arah langkah kakinya.
"Di mana orang itu? Kenapa suaranya tak
terdengar lagi? Apakah kepalanya sudah
telanjur ditelan harimau? Mengapa ia tak
coba-coba berteriak lagi dari dalam perut
harimau, siapa tahu mulut harimau itu
kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai
ke luar perut harimau?" gumam Suto Sinting
bagai orang gila yang bicara sendiri.
Langkahnya masih tergesa-gesa sambil
memastikan arah dan mencari orang yang
dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baikbaik,
sampai akhirnya angin pegunungan
membawa suara teriakan tersebut dari arah
timur.
"Tolooong...!"
"Nah, suaranya di sana! Ya, di timur sana!
Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto.
Sikap berbuat baik kepada seseorang dan
saling tolong-menolong memang selalu
dimiliki dalam jiwa Suto Sinting.
Genangan air yang dipijak Suto
membuatnya sedikit curiga. Kelembaban
tanah di sekitarnya membuat Pendekar Mabuk
semakin hati-hati dalam melangkah. Matanya
memandangi padang ilalang yang mengelilingi
tanaman rambat seperti kangkung yang
merimbun seluas sepuluh langkah lebih.
"Sepertinya di depanku itu adalah payapaya
yang berbahaya. Tapi kenapa ditumbuhi
tanaman rambat cukup lebat dan luas? Oh,
ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"
Mata Suto Sinting memperhatikan tanaman
rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di
seberang sana, sehingga jika Suto ingin
mendekati gerakan tersebut ia harus melewati
bentangan tanaman rambat itu. Karena curiga
ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya
atau rawa yang tertutup tanaman, maka
Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu
peringan tubuhnya untuk melintasi tempat
tersebut.
Tab, tab, tab, tab...!
Pendekar Mabuk melompati daun demi
daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi
membuat telapak kakinya yang menyentuh
ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun
bagaikan tidak tersentuh apa pun kecuali
angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun
tersebut, Suto baru menyadari bahwa ia
sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu
lubang yang tertutup tanaman rambat dengan
rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu
setelah ia merasakan tekanan daun yang
dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti di
bagian bawah daun tak ada alas penyangga,
tak ada air, tak ada tanah. Daun itu bagaikan
tumbuh mengambang di udara.
"Lubang besar! Gawat! Salah perhitungan
sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam
lubang besar ini?!" pikir Suto Sinting sambil
semakin mendekati benda yang bergerakgerak
di bawah kerimbunan tanaman rambat
itu.
"Tolooong...!"
Suara itu sangat jelas, datangnya dari
gerakan-gerakan di bawah tanaman itu. Suto
segera menyimpulkan, "Ternyata ada orang
yang terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh,
kasihan sekali."
Suto menyangka orang yang terperosok itu
mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan
karena dililit tanaman rambat. Maka dengan
gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar
telapak tangan seseorang yang tampak
tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman
rambat. Sayang sekali sebelum Suto berhasil
menyambar tangan orang tersebut, tiba-tiba
si pemilik tangan telah melesat keluar dari
kedalaman lubang. Bruuussh...! Jleeg...!
Dengan bersalto dua kali di udara, orang
tersebut berhasil menempatkan diri di tanah
datar. Berdiri dengan tegak. Memandang Suto
dengan senyum berkesan jumawa.
Orang itu adalah seorang lelaki berusia
sekitar dua puluh delapan tahun, seusia
dengan Suto. Rambutnya ikal sedikit panjang
diikat dengan ikat kepala dari kain berbenang
emas. Pakaiannya biru muda cerah. Di
pinggangnya menyandang pedang pendek
seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna
putih perak. Gagang pedang itu berbentuk
kepala naga, bagian mata kepala naga
terdapat batuan warna merah cerah.
Suto Sinting hampir saja terkecoh masuk
ke lubang besar itu. Untung ia segera
meliukkan badan dengan menggunakan
selembar daun untuk tumpuan jarinya,
sehingga dalam sekejap Suto pun sudah
berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu.
Mata memandang penuh curiga, sedangkan
lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.
"Sayang sekali kau yang datang. Padahal
aku hanya ingin memancing seseorang yang
bukan dirimu. Sobat!" kata si baju biru itu.
"Siapa kau?! Mengapa berpura-pura minta
tolong?"
"Aku Wiratmoko. Aku orang yang gemar
bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin
menjebak temanku sendiri. Aku ingin
menertawakannya jika ia terkecoh olehku."
"Siapa temanmu itu, Wiratmoko?"
"Kau tak perlu tahu. Sobat," jawabnya
dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu
baik padaku, sebutkan namamu supaya kita
saling kenal."
"Namaku Suto."
"Nama yang sederhana, tapi mudah
diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan,"
kata Wiratmoko bernada angkuh. "Apakah kau
tersesat di hutan ini?"
"Tidak semata-mata tersesat."
"Ha, ha, ha, ha...," Wiratmoko tertawa
melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu.
Suto. Aku tahu kau benar-benar tersesat.
Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah
yang kau lalui tadi adalah permukaan sebuah
lubang maut yang bernama Sumur Tembus
Jagat."
Suto Sinting berkerut dahi, matanya
memandang ke arah tanaman rambat yang
tadi dilaluinya. Ia baru tahu bahwa lubang itu
adalah Sumur Tembus Jagat.
Tapi ia tak paham apa artinya.
"Sumur Tembus Jagat ini termasuk sumur
tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke
dalamnya ia tak akan bisa ditemukan lagi.
Mungkin mati di pertengahan lorong sumur
atau terbuang ke sisi belahan bumi lainnya.
Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat
dari maut yang ada di Sumur Tembus Jagat
itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu
peringan tubuh cukup tinggi, sehingga kau
tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu
mau menolongku."
Napas Pendekar Mabuk terhempas
bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk
tuaknya sebentar, dan pada saat itu
Wiratmoko memperhatikan dengan dahi
berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu
pada diri Suto, namun ia tidak mau
menyebutkannya.
Ketika Suto selesai meneguk tuaknya, tibatiba
ia melihat kilatan cahaya putih yang
menyerang ke arah Wiratmoko dari belakang.
Suto Sinting segera berseru, "Awas...!"
Suto terlambat berbuat sesuatu.
Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui
datangnya bahaya. Kilatan cahaya putih yang
melesat itu menghantam punggung
Wiratmoko. Duub...! Tubuh Wiratmoko kejang
seketika, matanya mendelik dan semua
gerakannya terhenti. Ia bagaikan menjadi
patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat
cerah itu menjadi kemerah-merahan.
Hidungnya mulai melelehkan cairan merah
kehitaman.
Kejap berikut muncul seorang kakek
berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang
begitu saja, tak diketahui dari mana asalnya.
Suto Sinting sempat terperangah dengan
kemunculan kakek itu.
"Jangan berkawan dengan dia kalau kau
ingin selamat!" kata kakek berjubah putih
kumal itu. Setelah berkata demikian,
tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas,
hinggap di dahan pohon yang dipunggunginya.
Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang
kakek pergi dengan cepat seperti lenyap
ditelan angin.



2


PENGEJARAN Citradani sampai ke pesisir
selatan. Musuh yang melemparkan senjata
rahasia dan berhasil ditangkap oleh Suto itu
ternyata seorang perempuan berusia lima
tahun lebih tua dari usia Citradani yang
mencapai dua puluh empat tahun itu.
Perempuan yang dikejar Citradani itu
mengenakan pakaian kuning menyala,
rambutnya disanggul sebagian. Perempuan itu
hentikan langkah ketika telah mencapai
pesisir selatan. Ia tampak dengan terpaksa
melayani maksud pengejaran Citradani.
Keduanya kini saling berhadapan dalam jarak
lima langkah.
"Ternyata kaulah orangnya, Tandak Ayu!"
geram Citradani.
Tandak Ayu yang berhidung mancung
dengan bentuk wajah bulat telur itu
tersenyum sinis. Pedang yang ada di
punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap
berdirinya yang tegak dengan kaki sedikit
merenggang menandakan ia siap mencabut
pedang sewaktu-waktu.
"Ternyata kau seorang wanita yang
pengecut, Tandak Ayu!"
"Jaga mulutmu agar tak robek dari
mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan
kalem namun menandakan kegeraman
hatinya.
"Mengapa kau ingin membunuhku dengan
senjata rahasiamu itu, hah?"
"Karena aku tak ingin kau memiliki barang
yang kau cari-cari selama ini!"
Jawaban itu membuat Citradani berkerut
dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak
Ayu. Hatinya pun terkejut melihat Tandak Ayu
ternyata mengenakan kalung Lintang Suci.
"Jahanam kau, Tandak Ayu! Rupanya
kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin
menggeram, bagaikan menahan amarah matimatian.
Tandak Ayu hanya sunggingkan
senyum sinis.
"Serahkan benda itu padaku sebelum
terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"
"Rebutlah dengan nyawamu kalau kau
mampu!" tantang Tandak Ayu.
"Jangan menyesal kau, Pencuri Busuk!
Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan
kilatan cahaya yang melesat dari sebuah
pukulan. Begitu cepatnya gerakan itu, hingga
Tandak Ayu tak sempat berkedip dan
menghindar. Tahu-tahu ia merasakan
tubuhnya dilanda gumpalan badai yang
membuatnya terpental sejauh lima tombak.
Brruhg...!
Tandak Ayu jatuh terpuruk. Mulutnya
keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit
sebelum Citradani lancarkan pukulan tenaga
dalamnya tanpa wujud itu.
Wuuut...!
Tandak Ayu melenting ke udara dalam satu
sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam
Citradani yang dilepaskan melalui telapak
tangan kirinya itu mengenai tempat kosong.
Akibatnya pasir yang terkena pukulan itu
menyembur ke atas. Pasir yang berwarna
putih itu menjadi hitam legam saat
menyembur ke atas, menandakan pukulan
tenaga dalam tersebut cukup berbahaya jika
mengenai tubuh lawannya. Beruntung Tandak
Ayu mampu menghindarinya. Jika tidak ia
akan menjadi hangus seperti pasir-pasir
tersebut.
Tangan perempuan berpakaian kuning
dengan ikat rambut pita kuning itu segera
merapatkan kedua telapak tangannya di dada.
Dalam sekejap ternyata ia telah berubah
menjadi seekor kelinci putih. Claaap...!
Citradani hanya tersenyum sinis. Ia tahu
Tandak Ayu bisa berubah begitu karena
kekuatan kalung Lantang Suci yang dikenakan.
Bahkan menjadi binatang yang lebih
menyeramkan pun sangat mudah. Citradani
segera memahami, bahwa yang dimaksud
kelinci buruan Suto tadi rupanya adalah
perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si
pemuda tampan itu tentunya tidak
mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah
Tandak Ayu.
Kelinci putih itu melompat di balik karang.
Citradani segera menghantamkan pukulan
jarak jauhnya bercahaya merah. Wuuut...!
Blaaar...!
Karang hancur seketika menjadi serbuk
warna merah membara dan panas. Kelinci itu
hilang. Entah kemana perginya. Citradani
mencari kebingungan. Hatinya kian panas,
dadanya ingin meledak karena kehilangan
lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang
ajar! Dia pasti berubah menjadi undur-undur!"
Sambil mengorek-ngorek tanah berpasir
mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu,
Citradani bertanya-tanya dalam hatinya,
"Bagaimana mungkin kalung itu bisa ada di
tangannya? Apakah ia berhasil merebut kalung
itu dari si tampan berhati iblis itu? Semudah
itu kah Tandak Ayu mampu merebutnya?
Padahal aku tahu persis ilmu si Tandak Ayu
tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia murid Nyai
Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu
'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia belum
mewarisi ilmu itu. Nyai Demang Ronggeng tak
akan semudah itu menurunkan ilmu
andalannya kepada sang murid!"
Mencari undur-undur adalah pekerjaan
yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar
dan tekun. Setiap tanah dikoreknya
pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam
dada Citradani sudah semakin menyerupai
lahar gunung berapi yang ingin mendobrak
kepundannya.
"Kugites dan kutumbuk selembut mungkin
kalau undur-undur itu berhasil kutemukan!"
geram Citradani sambil menyiapkan
segenggam batu.
Ketekunan mengorek-ngorek tanah
membuat Citradani terkejut ketika mendengar
sapaan dari belakangnya.
"Rupanya ada anak kecil yang gemar
memburu undur-undur!"
Seet...! Citradani cepat palingkan wajah.
Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah
berdiri seorang gadis berpakaian kuning
gading dan berambut lurus dengan poni di
dahinya. Gadis itu tersenyum geli. Tapi
Citradani justru makin cemberut. Lalu ia
sentakkan tangannya yang mengeluarkan
cahaya merah berkelebat. Wuuut...!
Gadis berambut lurus itu pun
menyentakkan tangannya hingga dari telapak
tangan melesat sinar hijau yang langsung
membentur sinar merah itu. Wuuut...!
Blaar...!
Ledakan dahsyat menggelegar, menggema
bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu
timbulkan gelombang hebat, hingga keduanya
sama-sama terpental menjauh dan saling
berjatuhan tanpa bisa menjaga keseimbangan
badan. Dua gugusan batu karang itu retak,
padahal jaraknya ke kanan-kiri mereka cukup
jauh. Ombak lautan yang sedang menuju ke
pantai pun menyibak tinggi berbalik arah.
Gemuruh ombak bagai suara bumi mau
kiamat. Rupanya keduanya sama-sama
melepaskan pukulan berbahaya yang
berkekuatan cukup tinggi.
Beberapa saat kemudian, gadis berambut
lurus yang menyandang pedang berhias batu
ungu di ujung gagangnya itu berdiri dengan
sedikit limbung. Kejap berikutnya ia mampu
tegak kembali dan memperhatikan Citradani
yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.
"Gila dia melepaskan pukulan yang tidak
tanggung-tanggung," pikir gadis berambut
lurus itu. "Kalau tidak kuhadapi dengan
pukulan mautku, mungkin aku akan mati
dalam beberapa kejap saja."
Sementara itu, Citradani pun membatin,
"Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus
'Merah Delima' yang hanya bisa ditangkis oleh
orang-orang berilmu tinggi. Jika begitu, dia
mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin
memang Nyai Demang Ronggeng telah
mewariskan segala ilmunya kepada Tandak
Ayu. Oh, aku harus hati-hati menghadapinya."
Kini keduanya sama sama mendekat dalam
langkah yang penuh waspada. Masing-masing
siap lepaskan serangan penangkis dengan
mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak
enam langkah, mereka saling berhenti.
"Apa maksudmu menyerangku, Gadis
Kecil?"
Citradani menggeletukkan gigi dipanggil
'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa
dan mampu merobek mulut lawannya itu.
Pandangan mata Citradani menjadi semakin
benci dan mempertajam permusuhannya. Tapi
ia menjadi sedikit heran melihat kalung
Lintang Suci yang berbentuk bintang segi lima
dari batuan kristal putih itu tidak kelihatan di
leher lawannya. "Tak perlu berpura-pura,
Tandak Ayu! Sekali ini kalau kau tak mau
serahkan benda itu, akan kubuat musnah
tanpa bekas dirimu!"
Dahi gadis yang tangannya bertato mawar
merah tepat di pergelangannya menjadi
berkerut tajam menandakan keheranannya.
"Siapa Tandak Ayu itu? Benda apa yang kau
inginkan dariku?"
"Hmm...! Kau pikir aku mudah tertipu oleh
penyamaranmu?!" Citradani melangkah ke kiri
membentuk lingkaran, sedangkan gadis itu
melangkah ke kanan penuh waspada.
"Mungkin kau salah duga. Aku bukan
Tandak Ayu!"
"Akan kupaksa mulutmu agar mengaku.
Hiaaat...!" Citradani melompat maju,
menghantamkan pukulannya ke wajah gadis
berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan
telapak tangannya. Plaak...! Pukulan
Citradani mengenai telapak tangan itu.
Percikan bunga api menyembur dari
perpaduan tangan mereka. Citradani merasa
tertahan pukulannya, sehingga ia terpaksa
melepaskan pukulan tangan kirinya dengan
cepat ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi
pukulan itu mampu ditangkis dengan mengadu
pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi:
kraak...!
Wuuut...! Bag, bag...!
Duaaar...!
Kedua telapak tangan mereka saling
beradu, ledakan kecil kembali terdengar
menandakan kedua pukulan mereka cukup
bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama
terpental mundur, namun mereka tak sampai
jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama
berdiri dengan kaki merenggang dan
memasang kuda-kuda siap serang.
"Edan! Bagian dalam tubuhku seperti
sedang dibakar api setelah mengadu telapak
tangan tadi." kata gadis itu dalam hati, "Apa
maunya dia sebenarnya?"
"Serat-serat dagingku bagai disayat-sayat!"
pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku
karena beradu telapak tangan dengannya.
Ilmunya memang tak boleh disepelekan. Tapi
kurasa ilmu itu bukan dari Nyai Demang
Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu
memperoleh ilmu seperti itu?"
Setelah keduanya menyalurkan hawa murni
dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang
mereka alami pun mulai reda. Napas mereka
yang terengah-engah menjadi tenang kembali.
Tapi kedua mata mereka masih saling beradu
pandang dengan sama-sama tajamnya.
"Aku tak akan membiarkan kau lolos,
Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu
darimu, akan kusiksa dirimu dengan jurus
'Pembakar Jantung'-ku nanti!"
"Persetan dengan anggapanmu! Aku bukan
Tandak Ayu!"
"Omong kosong! kau pasti Tandak Ayu yang
merubah diri menjadi wujud lain!"
"O, kurasa kau benar-benar salah
anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan
Tandak Ayu. Namaku adalah Kirana, murid
Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar
Seruni!"
Citradani diam sebentar, mulai merenungi
kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana
diperhatikan baik-baik dengan hati dililit
kebimbangan. Sementara itu, Kirana sendiri
segera ajukan tanya kepada Citradani.
"Sebutkan siapa dirimu, supaya
kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa
kita salah satu."
"Aku Citradani, bekas murid dari Kuil Elang
Putih."
Kirana terkejut, "Jadi, kau muridnya Ratu
Embun Salju?"
Citradani ganti terkejut. "Kau mengenal
guruku? Apakah kau punya hubungan dengan
guruku?"
"Aku pernah saling membantu dengan
orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun
menjelaskan peristiwa yang dialami bersama
Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia
Pedang Emas"). Kirana menambahkan
penjelasannya pula,
"Dan aku sekarang dalam perjalanan
mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
Citradani mengendurkan ketegangannya,
meredakan kemarahan dan permusuhannya.
Bahkan ia berjalan mendekati Kirana. Berdiri
di depan gadis itu dengan jarak dua langkah.
Matanya tidak lagi tajam, bahkan berkesan
penuh penyesalan.
"Maaf, aku memang salah duga kalau
begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu,
karena Tandak Ayu tadi mengenakan pakaian
kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik
guruku itu yang bisa membuat dirinya mampu
berubah-ubah wujud."
Citradani segera menceritakan riwayatnya
menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang
Putih. Pertemuannya dengan Suto pun
diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan
Citradani sempat bertanya dalam nada curiga.
"Apakah kau kekasihnya Suto Sinting?" Kirana
tersenyum kecil. "Aku hanya sahabatnya,
karena memang begitulah anggapan Suto
kepadaku selama ini."
"Mengapa kau tak mau menjadi
kekasihnya?"
"Hanya gadis bodoh yang tak mau menjadi
kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan
pernah bisa menolak. Tapi agaknya Suto sudah
mempunyai gadis pilihan."
"Siapa gadisnya itu?"
"Tanyakan sendiri kepada Suto Sinting.
Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya,
karena aku sudah lama tidak jumpa
dengannya. Aku suka berpetualang
bersamanya."
Kini Citradani mulai tersenyum penuh
persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati
Suto mencair dan mau menjadi kekasihmu."
"Itu harapan terakhir yang berusaha
kulupakan," kata Kirana.
"Kalau begitu, mari kutunjukkan di mana
aku bertemu Suto tadi."
"Lalu bagaimana dengan lawanmu, si
Tandak Ayu?"
"Sudah terlalu sulit untuk kukejar jika ia
sudah berubah menjadi undur-undur. Tapi aku
yakin suatu saat aku akan bertemu dengannya
lagi dan mampu merebut kembali kalung
Lintang Suci itu."
"Akan kubantu kau, karena hubunganku
dengan gurumu pun baik!"
Citradani segera membawa Kirana ke kaki
Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu.
Tapi Citradani tak tahu kalau Suto sudah pergi
dari kaki Bukit Mata Langit. Pendekar Mabuk
telah membawa pergi Wiratmoko yang
terkena pukulan kakek berjenggot panjang
yang amat berbahaya. Suto membawa
Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di
kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi
tanaman. Bongkahan-bongkahan batu
cadas lebih banyak tumbuh di sana,
membentuk dinding-dinding alami, seperti
lorong-lorong pendek.
Di sanalah tubuh Wiratmoko dibaringkan
dalam keadaan kaku, mata mendelik dan
mulut ternganga. Sementara itu, dari lubang
hidungnya masih keluarkan cairan darah
merah busuk yang memang menyebarkan
aroma tak sedap. Suto Sinting segera
menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut
Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi
sedikit tuak tersebut masuk ke tenggorokan
Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya
Wiratmoko tampak mulai bisa menelan tuak
tersebut.
Tangannya mulai melemas. Dadanya
bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa
berkedip-kedip. Apa yang membuatnya kaku
menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari
hidungnya. Semakin lama semakin membaik
keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu
sempat tertidur beberapa saat, dan Suto
Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir
membayangkan wajah kakek berjenggot
panjang itu.
"Siapa tokoh tua itu? Mengapa ia
menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya?
Mengapa pula ia melarangku bergaul dengan
Wiratmoko? Apakah ia tak mau melibatkan
diriku? Apakah dia tak mau bentrok denganku?
Mengapa tak mau? Ah, aneh sekali tokoh tua
itu. Seharusnya aku mengejarnya dan
menanyakan penyebab kata-katanya itu.
Tapi.... ke mana aku harus mencarinya?"
Suto Sinting mencoba naik ke tempat yang
lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki
ke tanah, tubuhnya sudah bisa melesat ke
atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan
cadas yang tinggi. Dari sana Suto memandang
alam sekitarnya. Beberapa saat ia
memandang, tak ditemukan gerakan
mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan
bayangan berkelebat dari tokoh tua tadi pun
tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya
menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di
ketinggian tersebut.
Tapi pada waktu Pendekar Mabuk ingin
bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba
pandangan matanya menangkap suatu gerakan
lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa
dipandang mata. Gerakan lari itu seperti
bayangan putih yang samar-samar berkelebat
menyelinap melalui celah-celah pohon di
seberang sana.
Suto segera melesat dengan cepat.
Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih
itu. Dalam waktu singkat Suto Sinting sudah
berhasil berdiri menghadang langkah
bayangan putih. Orang tersebut segara
hentikan langkahnya dan merasa kaget
melihat Suto sudah berdiri di depannya.
"Kau lagi!" gumam kakek berjenggot
panjang itu.
Ternyata harapan Suto terkabul. Ia
berhasil bertemu dengan kakek penyerang
Wiratmoko. Mata Suto memperhatikan dengan
seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih
lusuh dan menggenggam tongkat berkelokkelok
seperti seekor ular warnanya hitam.
Rambutnya yang panjang sepunggung tidak
diikat apa pun, sehingga hembusan angin
memainkan rambut itu, menyingkap dan
menutup sebagian wajahnya. Kakek kurus itu
mempunyai sapasang mata yang cekung dan
tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan
matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang
membuat lawan atau orang lain menjadi segan
kepadanya. Suto pun merasa demikian, namun
ia memaksakan diri untuk tetap berdiri
menghadang kakek tersebut.
"Maaf, Pak Tua...." sapa Suto dengan
sopan, "Aku terpaksa menghentikan
langkahmu. Ada sesuatu yang ingin kuketahui
darimu dan membuatku sangat ingin tahu."
Kakek berambut panjang itu berkata,
"Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan
campuri urusanku!"
Suto Sinting terkejut mendengar kakek itu
mengenal nama gurunya.
"Sekali lagi,maafkan aku, Pak Tua. Aku
hanya ingin mengetahui siapa dirimu, sehingga
menyerang Wiratmoko dan melarangku
berteman dengannya?"
"Tanyakan saja pada gurumu siapa Raja
Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya dia
mendengar persoalanku dengan Wiratmoko
yang menjadi murid tunggal nya Dampu
Sabang."
"Siapakah Dampu Sabang itu, Pak Tua?"
"Tanyakan pada gurumu, Bodoh!" bentak
Raja Maut dengan wajah semakin tampak
keras dan berwibawa.
"Aku harus selesaikan urusanku dengan
seseorang di Pukau Blacan. Lain kali kita
bertemu lagi, Suto Sinting!"
Slaap...! I
Raja Maut pergi dengan sangat cepat
sehingga berkesan seperti menghilang. Suto
Sinting ingin mengejarnya, tapi tertahan oleh
keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke
tempat Wiratmoko dibaringkan. Ia ingin
bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya
yang bernama Dampu Sabang itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar
Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah
tak ada. Bekas telapak kakinya pun tak
terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun
timbul kesangsian kembali.
"Apakah dia pergi dengan sendirinya, atau
ada yang membawanya lari? Jika ia pergi
sendiri ke mana arahnya, jika ada yang
membawa lari siapa orangnya?"


3


MATAHARI pagi mulai meninggi. Sinarnya
memancar terang menyiram tubuh kekar
Pendekar Mabuk yang sedang berjalan
menyusuri lembah. Lembah itu berpohon
renggang dengan jenis tanaman terbanyak
adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan
besar dan bercabang-cabang. Pada salah satu
dahan itulah terdengar suara tangis seorang
gadis yang meratap memilukan.
Langkah Suto Sinting terhenti di bawah
pohon itu. Wajahnya mendongak
memperhatikan gadis berkepang dua dan
berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau
terang, menyelipkan pisau emas di
pinggangnya yang berukuran sekitar dua
jengkal. Gadis itu menangis dengan keadaan
duduk di dahan besar, dagunya diletakkan di
atas kedua lutut yang ditekuk ke atas.
"Kasihan. Gadis itu menangis sendirian di
atas pohon tak ada temannya," pikir Pendekar
Mabuk, "Kedengarannya tangis itu sangat
memilukan hati. Apa gerangan yang terjadi
sehingga ia harus menangis di atas sana? Oo...
ya, ya... aku tahu, pasti dia menangis karena
tak bisa turun dari atas pohon. He, he, he...
gadis itu cantik tapi bodoh. Sudah tahu tak
bisa turun dari atas pohon mengapa harus naik
ke atas sana?" Pendekar Mabuk segera serukan
suaranya, "Gadis manis, maukah kau kutolong
untuk turun dari pohon itu?
Tangis tersebut tiba-tiba hilang, tapi
isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu
buru-buru menghapus air matanya. Ia
memalingkan wajah bagaikan ingin
bersembunyi dari tatapan mata Suto Sinting.
"Lain kali kalau tak bisa turun dari pohon
jangan coba-coba naik ke atas pohon, Nona!"
Setelah berkata demikian, Suto segera
menendang pohon tersebut dengan tendangan
miring. Wuuut...! Duuhg...!
Wwwrrr...!
Pohon itu terguncang hebat. Gadis
berkepang dua itu terpelanting jatuh tak
sempat berpegang dahan di atasnya. Ia
menjerit saat melayang dari atas pohon
tersebut.
"Aaa...!"
Buhhg...!
Suara jatuhnya bagai nangka jatuh dari
atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak
ilalang, sehingga tubuhnya tak terluka sedikit
pun. Hanya tulang pinggulnya sedikit terasa
ngilu karena membentur tanah keras.
"Kurang ajar!" bentak gadis itu ketika
berdiri. Ia langsung melesat bagaikan terbang
menyerang Pendekar Mabuk dengan
tendangan kakinya. Wuuus...!
Plak, plak...!
Dua tendangan beruntun itu berhasil
ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan
yang kedua membuat tubuh itu terpelanting
dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau
merangkak.
"Maaf, aku lupa menadah tubuhmu saat
jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi
seharusnya kau berucap terima kasih
kepadaku, karena aku sudah membantumu
turun dari atas pohon."
"Dasar bodoh!" geramnya dalam sentakan
menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku
menangis bukan karena tak bisa turun dari
atas pohon!"
"Lho...?!" Suto Sinting terbengong malu.
"Aku menangis karena sebab lain, tahu?!"
bentak gadis berkepang dua itu.
"Mmm...maaf. Maafkan aku kalau begitu.
Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab
pertanyaanku yang pertama, jadi kusimpulkan
sendiri apa yang kulihat dalam tangismu,
Nona. Maafkan aku. Aku tak sengaja
mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan
aku pergi dan silakan melanjutkan tangismu
lagi."
Suto berbalik arah dan melangkah. Dua
langkah kemudian ia merasa ada angin panas
yang menuju ke arah punggungnya. Suto
Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis
berkepang dua itu melepaskan pukulan jarak
jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto
dengan menyilangkan bumbung tuak ke depan
dada. Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!
Bumbung tuak itu memantul balikkan
pukulan tersebut sehingga gadis itu
kebingungan menghadapi serangannya sendiri.
Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih
besar dari yang dikeluarkan. Akibatnya gadis
itu melompat ke kiri dan kakinya terhempas
kuat akibat terkena tenaga pantulan tersebut.
Tubuh yang melompat itu cepat berputar
terjungkir dan jatuh telentang dengan amat
menyedihkan. Blaak...!
"Uuh...!" Ia mengerang, meringis
kesakitan. Pinggangnya terasa patah.
"Jangan menyerangku, Nona. Kau bisa
celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku
mau kau serang, kau tak akan celaka. Lain
kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu
padaku supaya aku rela menerima
seranganmu."
"Setan!" geramnya sambil berdiri. "Kau
pasti teman orang itu!"
Suto celingak-celinguk ke sekelilingnya.
"Orang yang mana maksudmu?"
"Iblis Naga Pamungkas!"
Suto Sinting kerutkan dahi, karena merasa
asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang
dua yang punya tahi lalat kecil di sudut mata
kirinya itu hanya mencibir sinis melihat
keheranan Suto.
"Aku tidak kenal dengan nama itu."
"Bohong!"
"Aku berani bersumpah. Justru kalau kau
mau, tolong jelaskan siapa orang berjuluk Iblis
Naga Pamungkas itu?"
"Tentu saja orang yang mempunyai Pedang
Naga Pamungkas!"
"Aku tidak tahu siapa pemilik pedang
tersebut, Nona."
Gadis itu diam. Tangannya membersihkan
tanah yang melekat di pakaian hijau cerahnya
itu. Sambil menepiskan tanah-tanah dari
pakaiannya, matanya memandang tajam
penuh selidik. Dari ujung rambut Suto
diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto
Sinting tetap kalem. Bahkan ia sempat
meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu
kali. Kesannya menganggap ringan kepada
gadis yang sedang cemberut itu.
"Baiklah, Nona," kata Suto, "Kalau kau tak
mau jelaskan apa sebab kau menangis dan apa
hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas,
aku akan teruskan langkahku mencari seorang
teman."
"Siapa dirimu sebenarnya? Sebutkan dulu,
baru aku akan jelaskan masalahku."
"O, kau tanya namaku? Namaku Suto
Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi
membuat mata gadis itu terbelalak dan
berbinar-binar.
"Jadi...jadi kau yang berjuluk Pendekar
Mabuk itu?"
"Hei, kau mengenali julukanku?"
Ketegangan gadis itu pun mengendur. Ia
mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat
ciri-ciri Pendekar Mabuk yang sering
didengarnya dari mulut para tokoh rimba
persilatan. Gadis itu kini duduk di sebongkah
batu di bawah pohon yang tadi digunakan
untuk menangis. Ia merenung sesaat, dan
Pendekar Mabuk mendekatinya dengan
senyum masih tersungging di bibirnya.
"Kalau kau sudah tahu siapa diriku,
sekarang giliranku mengetahui dirimu."
Tanpa memandang Suto, gadis itu
menjawab dengan suara datar,
"Namaku Mega Dewi. Ayahku Ki Lurah
Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis
Naga Pamungkas dalam keadaan sangat
mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah
ayahku ada di bawah tiga pohon rapat sebelah
barat itu."
Gadis yang mengaku bernama Mega Dewi
itu memandang tiga pohon cemara liar yang
tumbuh berjajar merapat di sebelah barat
mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan
pohon itu, belum mau bergerak sedikitpun.
Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju
pohon yang dimaksud, Suto segera
mengikutinya.
"Itulah jenazah ayahku," ucap Mega Dewi
sambil menahan tangis, walau air matanya
kembali meleleh membasahi pipinya yang
merah jambu itu.
Suto Sinting terperangah kaget melihat
jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
"Semalam?! Pertarungan itu terjadi
semalam?!"
"Ya. Semalam. Aku lari bersembunyi di
atas pohon sampai pagi menjelang dan kau
pun datang."
Suto kembali menatap jenazah Ki Lurah
Pramadi yang telah berwujud menjadi
tengkorak rapuh, seperti layaknya orang yang
mati sudah bertahun-tahun. Tak ada kulit
atau daging yang tersisa sedikit pun. Bahkan
bentuk kerangkanya sudah kusam. Sebagian
ada yang rapuh. Tengkorak kepalanya bagian
kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya pun tak
ada. Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin
jika Ki Lurah Pramadi dibunuh tadi malam.
"Aku tak percaya kalau ayahmu dibunuh
tadi malam."
"Mulanya aku pun tak percaya dengan
penglihatanku. Tapi mau tak mau aku
terpaksa percaya karena aku melihat sendiri
pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada, beliau
sempat berseru agar aku bersembunyi dan
menjauhi pertarungannya. Maka aku pun
bersembunyi di pohon sana."
Mata Pendekar mabuk masih menatap
heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi
itu. Ia bergumam dengan suara terdengar di
telinga Mega Dewi,
"Jurus apa yang digunakan iblis Naga
Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi
seperti ini? Alangkah bahayanya jurus itu?"
"Ia menggunakan Pedang Naga
Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan
dari kejauhan, ia menggunakan pedang itu
pada saat ia telah terdesak oleh serangan
ayahku. Ia tebaskan pedang itu menyilang,
melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal
membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah
pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga
Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak
berhasil mencariku. Ketika kuhampiri,
ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti
ini."
"Apa masalahnya sehingga ayahmu bentrok
dengan Iblis Naga Pamungkas?"
"Balas dendam!" jawab Mega Dewi.
"Balas dendam yang bagaimana? Coba
jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.
"Ayahku termasuk musuh utama dari
gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku
pernah membunuh salah satu dari ketiga istri
gurunya Iblis Naga Pamungkas."
"Siapa gurunya Iblis Naga Pamungkas itu?"
"Aku tak mendengar ia sebutkan nama sang
Guru, aku hanya mendengar persoalannya
saja, bahwa Iblis Naga Pamungkas ditugaskan
oleh gurunya untuk membantai habis para
musuh utamanya.
"Apakah kau tahu siapa saja musuh
utamanya?"
"Tidak. Tapi kudengar ia menyebutkan
orang berikutnya yang akan disambangi
dengan Pedang Naga Pamungkasnya itu."
"Siapa nama orang tersebut?"
"Ki Gendeng Sekarat."
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut dengan
melebarkan matanya.
Mega Dewi menatap heran, "Apakah kau
kenal dengan nama itu?"
"Sangat kenal. Ki Gendeng Sekarat adalah
bekas pelayan guruku dan hubunganku dengan
beliau sangat baik. Beliau banyak
membantuku dalam beberapa urusan. Jelas
aku tak akan membiarkan Iblis Naga
Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng
Sekarat!" Pendekar Mabuk termenung
beberapa saat membayangkan wajah Ki
Gendeng Sekarat. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau
Mayat"). Bagi Suto, Ki Gendeng Sekarat bukan
saja seorang sahabat, namun sudah dianggap
seperti orang tua sendiri, pengganti gurunya
dalam meminta berbagai pertimbangan. Tentu
saja Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat
seperti nasib Ki Lurah Pramadi.
"Tahukah kau ke mana perginya Iblis Naga
Pamungkas itu?" tanya Suto bagai kehilangan
senyum.
"Yang kutahu ia menghilang setelah
bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.
"Kalau begitu, akan kukejar dia ke sana.
Selamat tinggal, Mega Dewi."
"Tunggu!" cegah Mega Dewi membuat Suto
urungkan langkah.
Mega Dewi mendekat saat Suto berpaling
memandangnya. "Aku harus ikut denganmu,
Suto!"
"Tidak ada keharusan. Aku tak mau pergi
denganmu, karena aku tak ingin kau menjadi
korban seperti ayahmu."
Mega Dewi menggelengkan kepala. "Aku
harus ikut demi membalas kematian ayahku.
Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat
kalahkan Iblis Naga Pamungkas. Aku tahu, aku
akan kalah jika melawannya sendiri. Tapi
dengan membantumu, aku sudah merasa
membalaskan kematian ayahku."
"Kalau kau sendiri yang akhirnya menjadi
korban, bagaimana?"
"Aku sudah siap mati demi pembelaan
terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa
bisa membalaskan dendam atas kematian
ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak
memiliki orangtua lagi. Ayahku tiada, ibuku
pun sudah lama meninggal. Kini hidupku
sebatang kara, tak punya arti bagi saudara
dan orangtua." Mega Dewi menangis dengan
tundukkan wajah. Suto Sinting hanya menarik
napas. Menahan keharuan dan rasa iba hati
atas nasib Mega Dewi.
Ki Gendeng Sekarat yang menjadi sasaran
keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu
kalau dirinya sedang diincar bahaya. Ki
Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto
Sinting untuk satu keperluan, yaitu tugas dari
Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu yang mempunyai
nama asli Dyah Sariningrum. Wanita anggun
dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia
menderita sakit karena rindu ingin jumpa
dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat
ditugaskan mencari Suto agar membawanya
pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk
beberapa saat.
Tetapi dalam perjalanannya itu, Ki
Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang
telah tertidur di bawah pohon tepi jalan
menuju sebuah desa. Lelaki berusia sekitar
tujuh puluh tahun berambut ikal putih
mengenakan ikat kepala hitam itu dengan
enaknya duduk melonjor kaki, punggung
bersandar batang pohon, mulut ternganga
mengeluarkan dengkur tipis. Ia tampak
nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya
yang berupa kipas putih masih terselip di
pinggang.
Seorang bocah penggembala kambing
melintas di jalanan depan Ki Gendeng
Sekarat. Bocah itu tersenyum geli melihat Ki
Gendeng Sekarat tidur seenaknya. Dengan usil
bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu
melemparkan batu ke arah Ki Gendeng
Sekarat. Wuuut..! Lalu ia bersembunyi di balik
bongkahan batu cadas, membiarkan
kambingnya memakan rumput di seberang
sana.
Tetapi sang bocah segera kaget, karena
batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap
oleh tangan kiri Ki Gendeng Sekarat. Taaab...!
Bocah itu bertambah heran karena pada saat
batu tertangkap tangan Ki Gendeng Sekarat
masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya
terdengar samar-samar.
"Dia pasti bukan pengemis. Dia pasti orang
sakti," pikir bocah itu. "Alangkah senangnya
jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa
bangun dulu dia bisa tangkap lemparan
batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk
melemparkan batu yang lebih kecil lagi ke
arahnya. Apakah ia masih bisa
menangkapnya?"
Wuuut...! Batu itu dilemparkan dari balik
persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki
Gendeng Sekarat berkelebat menyambar batu
tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya
sedikit bergeser lebih merendah lagi, namun
dengkurannya tetap terdengar samar-samar.
"Gila dia masih tetap tidur?!" pikir bocah
penggembala dengan herannya.
Tiba-tiba bocah itu terkejut saat ingin
keluar dari persembunyian. Hal yang
membuatnya terkejut adalah munculnya
seekor harimau hitam dari arah timur.
Harimau hitam itu melangkah dengan pelan,
lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan
mencium bau sedapnya makanan. Suara
geramannya pun mulai terdengar. Bocah
penggembala kambing menjadi gemetar
ketakutan.
"Celaka! Harimau itu menuju kemari. Pasti
ia akan menyantapku, bukan menyantap
kambing-kambingku?! Aduh, bagaimana ini?
Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan
kalah cepat dengan larinya." Bocah
penggembala kambing masih bersembunyi di
balik bongkahan batu cadas, ia bermaksud
memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa
harimau kumbang itu mampu memanjat pohon
dengan cepat. Menggigil juga sekujur tubuh
yang mengeluarkan keringat dingin itu.
Harimau tersebut semakin dekat.
"Oh, dia menuju ke orang tua itu? Celaka!
Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui
kalau ada bahaya datang. Aku harus segera
bertindak untuk menyelamatkan orang tua
yang tertidur itu. Jika tidak, pasti dia akan
mati diterkam harimau hitam."
Bocah penggembala segera mencari
sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua
kali genggaman tangannya. Pada saat itu
harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki
Gendeng Sekarat. Binatang itu sudah bersiapsiap
untuk melompat dan menerkam Ki
Gendeng Sekarat. Bocah penggembala segera
keluar dari persembunyiannya. Ia berlari lebih
mendekati lalu melemparkan batu itu ke arah
harimau hitam.
"Mati kau macan keling!"
Wuuut...! Buuhg...!
"Ggrrrrr...!" I
Batu itu mengenai perut sang harimau.
Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke
samping. Lalu arahnya berbalik menghadap
kepada bocah tersebut. Matanya
memancarkan keganasan yang mengerikan.
Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari
karena paniknya. Harimau hitam segera
melompat dengan mulut ternganga dan
taringnya yang runcing siap merobek tubuh
bocah tersebut.
"Grrraaaow...!"
Wuuuusst...! Bocah kecil itu menutup mata
kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena
ingin berteriak namun tak mampu keluarkan
suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia
merasa sudah mati dan tinggal rohnya saja
yang melesat terbang di udara bebas.
Namun ketika ia buka mata, ternyata ia
dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap
tertidur dengan mata terpejam walau sudah
berpindah tempat. Rupanya bocah itu
disambar oleh Ki Gendeng Sekarat sehingga
terkaman harimau hitam itu tidak menemukan
sasarannya, melainkan menemukan tempat
kosong.
"Bocah dungu! Untuk apa kau melawan
macan hitam itu, hah?! Bisa mati sia-sia kau,
Nak! Cepat sembunyi di belakang pohon itu!"
Kata-kata Ki Gendeng Sekarat membuat si
bocah terbengong-bengong, karena Ki
Gendeng Sekarat bicara dalam keadaan
tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang
sedang mengigau.
"Cepat sembunyi, Bodoh! Macan itu
berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng
Sekarat sambil mendorong bocah itu agar
segera lari ke balik pohon.
Bocah itu memang lari untuk sembunyi,
tapi wajahnya masih berpaling memandang ke
arah harimau hitam yang kini sedang
mengaum mengerikan dengan melompat
cukup tinggi hendak menerkam Ki Gendeng
Sekarat. Dalam keadaan masih tidur, Ki
Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak
tangan kirinya ke depan. Sepercik sinar kuning
terlepas terbang dan menghantam tubuh
harimau hitam itu. Buuhg...!
"Grraaaoow...!" Binatang tersebut
terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung
yang mendirikan bulu kuduk si bocah.
Harimau itu jatuh berguling-guling
bagaikan diterjang badai amat besar.
Tubuhnya sempat membentur bongkahan batu
cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah
penggembala. Binatang itu meraung-raung di
sana. Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang,
amat menyilaukan, membuat si bocah
mengecilkan mata. Ketika sinar putih
menyilaukan itu hilang, bocah penggembala
terkejut bukan kepalang, karena wujud
harimau hitam itu berubah sama sekali,
berganti rupa perempuan cantik berpakaian
kuning terang.
Terdengar pula suara Ki Gendeng Sekarat
yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya
terkulai lemas ke samping.
"Kalau tak salah kenal... kau adalah
Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng!
Aku masih ingat wajahmu, Cah Ayu!"
"Ternyata kau belum pikun, Raja Molor!"
ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri,
merapikan pakaian sebentar, memandang
dengan sengit karena penyamarannya mampu
dipudarkan oleh pukulan Ki Gendeng Sekarat.
"Mengapa kau menyerangku, Tandak Ayu!"
"Seseorang telah berpesan padaku, agar
jika bertemu denganmu aku harus
membunuhmu, Ki Gendeng Sekarat."
"Lupakan pesan itu dan jangan lakukan,
nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki
Gendeng Sekarat masih dengan tertidur
nyenyak.
Agaknya Tandak Ayu tidak pedulikan
anjuran itu. Ia segera cabut pedang di
punggungnya. Serrt...! Kemudian segera
melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia
lakukan tanpa suara supaya Ki Gendeng
Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan
pedang. Tandak Ayu tidak mengetahui bahwa
Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam
keadaaan tidur daripada dalam keadaan
melek. Pedang perempuan itu menebas dari
atas ke bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng
Sekarat. Tetapi dengan sigap dan cepat Ki
Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang
tahu-tahu sudah menyambar kipas putih.
Traak...!
Kipas putih itu menahan gerakan pedang di
atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng
Sekarat yang satunya lagi menghantam siku
pemegang pedang. Kraak...!
"Aauh...!" Tandak Ayu memekik. Tulang
lengannya terasa patah karena sentakan
telapak tangan Ki Gendeng Sekarat.
Sedangkan bocah penggembala itu semakin
terkagum-kagum melihat kehebatan jurus Ki
Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki
Gendeng Sekarat melakukan perlawanan
masih dalam keadaan tidur.
"Tinggalkan diriku dan jangan lakukan
pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua
tulangmu bisa patah kalau kau nekat
menyerangku, Cah Ayu!"
"Persetan! Aku masih punya tangan kiri
yang lebih berbahaya dalam memainkan
pedangku. Hiaaah...!" Wuuut...! Wuuuurt..!
Ki Gendeng Sekarat kibaskan kipasnya
dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak
Ayu. Angin besar melanda dan menumbangkan
tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu
terjungkir balik terhempas tak tentu arah.
Praaak..! Kepalanya membentur gugusan batu
cadas. Darah mengucur, namun ia masih
sempat larikan diri.
"Bagus! Pergilah dengan cepat sebelum
murkaku datang, Tandak Ayu!"
"Kita akan bertemu lagi, Ki Gendeng
Sekarat!"
"Terserah kalau memang kau tak jera
dengan bocornya kepalamu itu!"
Tandak Ayu telah sampai di kejauhan
dalam waktu yang hanya beberapa kejap.
Bocah penggembala keluar dari
persembunyiannya, memandangi arah pelarian
Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa saat di
tempatnya, merasa heran dengan perempuan
yang bisa merubah diri menjadi seekor
harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak
Ayu pun punya ilmu tinggi dan cukup sakti,
tapi kenapa hanya sekali gebrak dengan kipas
Ki Gendang Sekarat saja bisa lari tungganglanggang.
Jika bukan karena Ki Gendeng
Sekarat punya ilmu lebih tinggi, tak mungkin
Tandak Ayu melarikan diri walau kepalanya
sempat bocor dan berdarah.
"Aku harus bicara dengan Pak Tua itu,"
kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia
berpaling memandang Ki Gendeng Sekarat,
ternyata orang tersebut telah kembali ke
tempat duduknya semula, tertidur dengan
bersandar pohon dan sedikit merebah dari
semula. Suara dengkurannya terdengar
samar-samar.
"Yaah... tidur lagi?!" bocah itu mengeluh
kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki
Gendeng Sekarat yang dikaguminya itu.
"Kek... Kakek... Kek, bangunlah sebentar,
Kek." Bocah itu hanya berani berkata-kata
namun tak berani menyentuh tubuh Ki
Gendeng Sekarat.
"Kakek yang sakti, bangunlah sebentar...."
Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya
bagaikan lengket dan tak bisa dibuka. Tapi ia
menjawab suara si bocah dengan suara parau.
"Ada apa? Mau melemparkan batu lagi?"
"Buk... bukan... bukan itu, Kek. Hmmm...
anu... saya... saya ingin menjadi muridmu,
Kek."
"Murid apa?" jawab Ki Gendeng Sekarat
dengan sangat lemah dan malas.
"Saya... saya ingin menjadi sakti seperti
Kakek."
"Sakti? Sakti itu apa? Tak tahu aku.
Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin
menjadi muridku. Murid tidur, apa susahnya?
Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari
gurunya. Sini, tidur di sampingku!"
Sang bocah bingung dan terbengongbengong.
Ia ragu menuruti saran tersebut.
"Apakah dengan tidur di sampingnya aku
bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir sang
bocah dengan lugu.

 4

BOCAH berkulit hitam tertidur di samping
Ki Gendeng Sekarat. Dalam tidurnya ia
bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh
Ki Gendeng Sekarat.
"Namamu siapa, Nak?"
"Angon Luwak, Kek."
"Angon Luwak? Lho, apakah tidak keliru?
Setahuku kau angon kambing, alias
menggembala kambing."
"Itu pekerjaanku, Kek. Tapi namaku sejak
kecil adalah Angon Luwak, Kek"
"Ya sudahlah. Itu urusan orangtuamu.
Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan
nama seperti itu. Sekarang yang penting kau
ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan
berikan beberapa jurus untuk membela dirimu
jika dalam bahaya. Tapi tak boleh kau
gunakan untuk sombongkan diri. Setuju?!"
"Ya, Kek. Setuju."
"Bagus. Sekarang remaslah batu hitam ini
sampai pecah."
Dalam mimpi sang bocah, ia diberi batu
hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu
disuruh meremasnya sampai pecah. Angon
Luwak tak sanggup lakukan walau sudah
berulang kali mencobanya.
"Sulit, Kek."
"Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya
bakar jagung lalu dimakan,itu mudah," kata Ki
Gende Sekarat. "Kerahkan semua tenagamu ke
tangan kanan. Kencangkan semua otot, tahan
napasmu dalam meremas batu itu. Lakukan!"
Bocah yang mengaku bernama Angon
Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu
saja ia tetap tak bisa meremas batu hitam itu.
Ia meringis dan berkata,
"Malah sakit, Kek."
"Ya memang sakit. Kalau yang tidak sakit
adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu tidak
akan sakit."
"Kalau bisa pelajaran yang lainnya saja,
Kek."
"Pelajaran yang lainnya aku sudah tak
ingat bagaimana mengajarkannya. Yang
kuingat pelajaran meremas benda keras
menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran
itu, ya sudah cari guru lain saja," kata Ki
Gendeng Sekarat dengan seenaknya.
Angon Luwak melakukan pelajaran
meremas batu berkali-kali, tapi yang ia
peroleh hanya telapak tangan yang lecet dan
perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh Angon
Luwek membuka telapak tangannya yang
perih itu.
"Coba buka telapak tanganmu!"
Angon Luwak membuka telapak tangannya.
Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan
telapak tangannya sendiri ke telapak tangan
bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya putih perak
memancar dari perpaduan telapak tangan
tersebut. Bocah itu heran, namun rasa
herannya harus segera disingkirkan karena Ki
Gendeng Sekarat segera berkata,
"Telapak tangan yang kiri juga dibuka
sekalian!"
Angon Luwak membuka telapak tangan
yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan
telapak tangannya sendiri ke telapak tangan
kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar putih perak
berkilat kembali. Hanya sekejap dan sangat
cepat, tahu-tahu sudah hilang tanpa asap
sedikitpun. Tapi Angon Luwak merasakan
getaran panas yang masuk dalam tubuhnya
melalui lengan tersebut.
"Sekarang, coba remas lagi batu hitam itu!"
perintah Ki Gendeng Sekarat.
Bocah kecil berambut lurus agak panjang
itu menggenggam batu hitam dan meremasnya
dengan mengencangkan seluruh urat lengan.
Praak...!
"Wah, bisa! Bisa hancur, Kek?!" bocah itu
kegirangan.
"Belum," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kau
belum berhasil. Batu itu harus menjadi
lembut. Tidak boleh menjadi bongkahanbongkahan
kecil begini."
"Harus lembut seperti pasir, Kek?"
"Terserah. Mau seperti pasir atau seperti
debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng
Sekarat. "Ayo, ulangi lagi!"
Batu yang lainnya diambil. Diremas dalam
genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih
belum selembut pasir. Angon Luwak
mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan
beberapa bongkah batu hitam. Sampai
akhirnya, kejap berikut ia meremas batu
hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari
genggaman tangannya.
Pruuss...!
Batu hitam itu menjadi lembut seperti
pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil
berseru kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Berhasil, Kek! Aku berhasil meremas
sampai lembut. Lihat, Kek...!"
Ki Gendeng Sekarat memeriksa sebentar,
lalu menggumam sambil manggut-manggut,
"Ya, ya... baik. Kau sudah berhasil. Sekarang
kau sudah jadi muridku dan sudah tamat
belajar."
"Lho, kok cuma sebentar, Kek?
Pelajarannya kok cuma satu saja?"
"Iya. Karena kalau semua ilmuku kau
pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk
mewarisi semua ilmuku. Lihat, kambingmu
sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya
tak hilang."
Angon Luwak berlari, kakinya tersandung
akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak
menggeragap ketika terbangun dari tidurnya.
Ia memandang sekeliling, ternyata kelima
kambingnya masih memakan rumput di
tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah
tak ada disampingnya.
"Ah, sayang semuanya cuma mimpi. Tapi
ke mana perginya kakek itu?"
Angon Luwak menganggap semua itu hanya
mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng
Sekarat, ia segera bangkit dan menghampiri
kambingnya. Salah satu kambing ada yang
memisahkan diri dan ingin makan tanaman
beracun. Angon Luwak segera menghalau
kambingnya supaya jangan makan tanaman
beracun. Ia mengambil batu dan
melemparkannya sambil berseru,
"Husy...Husyah...!"
Batu pun dilemparkan. Wuuur...!
"Lho...?!" Angon Luwak terperanjat dan
sangat heran. Batu yang dilemparkan ternyata
telah menjadi serpihan-serpihan lembut walau
tidak selembut pasir. Mata bocah itu
memandangi serpihan tersebut, juga
memandangi kedua telapak tangannya. Ia
memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya
seperti yang dilakukan dalam mimpinya.
Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya
menjadi pasir hitam.
"Hahh...?!" Angon Luwak kian terperanjat.
"Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras
itu? Ah, sepertinya apa yang kulakukan tadi
hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa
menjadi nyata? Tapi..., sebaiknya kucoba lagi
dengan batu yang agak besar dan lebih keras
lagi."
Angon Luwak memungut batu yang
ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman
tangannya. Ia meremasnya dengan satu
sentakan tangan menggenggam.
Pruus...!
Ternyata batu itu berhasil diremukkan
hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak
tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia segera
memungut sebatang dahan kayu yang masih
belum keropos tapi sudah kering. Pruuus...!
Batang kayu itu pun hancur lebur dalam
genggaman tangannya.
"Oh, aku telah bisa...! Aku berhasil
mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh,
ternyata mimpiku itu bisa menjadi kenyataan?
Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi
apakah ini pun bukan sekadar mimpi seperti
tadi?" pikir bocah itu dengan bingung sendiri.
Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya
untuk mengabarkan berita kehebatannya itu.
Tetapi dalam perjalanan menuju desanya,
ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis.
Yang satu mengenakan pakaian hitam-hitam,
yang satunya lagi mengenakan pakaian biru
tua. Keduanya sama-sama menyandang
senjata kapak di pinggang. Kapak mereka
sama panjang dan sama bentuknya. Kedua
lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga
puluh tahun lebih sedikit. Angon Luwak sama
sekali tidak mengenal siapa kedua orang
berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin
bahwa kedua orang tersebut adalah orang
jahat.
"Hei, Bocah...!" sapa yang baju hitam. "Di
mana rumah Empu Sakya?"
"Empu Sakya?" bocah itu termenung
memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya. Ia
kenal nama Empu Sakya, yaitu seorang
pembuat senjata keris pusaka bernama Keris
Setan Kobra. Angon Luwak juga pernah
mendengar beberapa orang memburu Keris
Setan Kobra, tapi keris itu selalu
dipertahankan oleh Ki Empu Sakya. Bahkan
kabarnya pernah ada orang yang berminat
menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong
permata, tapi ditolak oleh Ki Empu Sakya.
Melihat tampang bengis kedua orang itu,
Angon Luwak menjadi curiga. Ia beranggapan
kedua orang bengis itu pasti akan memaksa Ki
Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya
tersebut dengan cara kasar dan kejam.
"Anu... saya tidak tahu kok, Paman."
jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan
pertanyaan serupa.
"Kau bocah desa Kukusan, bukan?" tanya si
baju biru.
"Betul, Paman."
"Kau pasti tahu rumah Empu Sakya! Karena
dia tinggal di desa Kukusan."
"Tidak. Saya tidak tahu, Paman."
Yang berbaju hitam segera meremas
rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana,
kalau tak mau kepalamu kupancung biar pisah
dengan ragamu!"
Angon Luwak meringis kesakitan. "Ampun,
Paman... saya... saya memang tidak tahu,
Paman. Saya tidak tahu!"
"Kecil-kecil sudah mau berbohong kamu,
hah?!" si baju hitam semakin memperkuat
jambakannya sampai kaki Angon Luwak
berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan
rambutnya ke atas.
"Sakit, Paman...," rengeknya sambil
tangannya berusaha menggenggam
pergelangan tangan si baju hitam. Sementara
itu, si baju biru hanya tertawa-tawa sambil
berkata,
"Tarik terus ke atas sampai copot kulit
kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama anak
kecil, ha, ha, ha...!"
Jambakan itu terasa semakin sakit. Tangan
Angon Luwak kian meremas pergelangan
tangan Wongso. Kraak...!
"Aaaouh...! " Wongso terpekik kesakitan
dengan mata mendelik. Tulang di pergelangan
tangannya menjadi remuk karena genggaman
Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan
rasa sakit yang membuat Wongso terbungkukbungkuk
sambil mendekap pergelangan tangan
kanannya.
"Kenapa kau ini, hah?! Digenggam bocah
ingusan saja menjerit-jerit seperti itu?!"
"Matamu picek, Mayong! Tukang lenganku
remuk!" geram Wongso sambil menyeringai
kesakitan.
Mendengar ucapan itu, Mayong segera
memandang tajam kepada Angon Luwak yang
telah mundur sejauh tujuh langkah. Bocah
bercelana kumal warna hitam dengan baju
kusut warna hitam tanpa lengan itu semakin
ketakutan mendapat pandangan sangar dari
Mayong.
"Hei, kemari kau!" gertak Mayong
memanggil Angon Luwak.
"Tidak. Saya tidak mau!"
"Ke sini kau!" bentak Mayong makin keras
sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan
cepat bocah itu pun segera melarikan diri
kembali ke arah semula.
"Berhenti kau!" seru Mayong, lalu mengejar
bocah itu dengan nafsu ingin menangkapnya.
Tapi Angon Luwak berlari ketakutan secepat
mungkin. Mayong berseru mengancamnya,
"Kalau kau tak mau berhenti kulempar
kapak kepalamu, Bocah Tolol!"
Angon Luwak tak pedulikan ancaman itu.
Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh
Mayong, sementara Wongso mengikuti dari
belakang sambil masih mendekap pergelangan
tangan kanannya yang segera berwarna biru
legam itu.
"Bangsat betul bocah itu!" geram Wongso.
Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan
kapakmu! Bunuh bocah itu! Dia benar-benar
telah meremukkan tukang tanganku, Mayong!"
Langkah Mayong berhenti sebentar. Kapak
dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke
punggung Angon Luwak. Wuuung ..! Jraab...!
"Haihhh...?!" Angon Luwak terbelalak
kaget. Kapak itu menyambar di atas
kepalanya kalau saja ia tidak jatuh tersandung
batu. Kapak itu menancap di batang pohon
tepat di depan Angon Luwak. Serta merta
Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak
tersebut. Tapi karena daya tancapnya cukup
dalam, maka kapak itu tak mudah dicabut.
"Hoi...! Berani kau mencabut kapakku,
hah?!" bentak Mayong sambil bergegas
menyusul bocah kecil itu.
Karena kapak sukar dicabut maka
genggaman tangan Angon Luwak menjadi
sangat kuat. Dan gagang kapak pun menjadi
hancur seketika itu pula. Proos...!
Mayong terhenti dari langkahnya karena
kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu
sebagian. Wongso pun mendelik melihat hal
itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget
karena tak sengaja meremukkan gagang kapak
dari kayu jati yang amat keras itu.
Melihat kapak berhasil diremukkan, maka
Angon Luwak coba coba meremas bagian mata
kapak yang tidak sempat terbenam di batang
pohon.
Pruuuss...!
Kapak besi itu hancur jadi serbuk lembut
diremas dengan kedua tangan. Hal itu
menambah kedua manusia bertampang bengis
sama-sama kian terperanjat begong. Angon
Luwak membuang rasa bangganya, karena
sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan
datang. Maka ia segera larikan diri kembali
tak mempedulikan remukan kapak besi
tersebut.
"Bocah setan" maki Mayang. "Kapakku bisa
diremukkan dengan tangan sekecil itu. Kurang
ajar!"
"Kejar dia sampai dapat dan bunuh tanpa
ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan rasa
sakit pada pergelangan tangan yang remuk
itu.
Angon Luwak semakin mempercepat
larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia
dikejar-kejar dua orang dewasa. Dikepung dua
arah. Sampai akhirnya Angon Luwak terpojok
ketika membawa pelariannya ke atas bukit. Ia
tak dapat bergerak lagi karena di depannya
ada jurang cukup dalam, sementara dua
pengejarnya sudah merapat di belakangnya.
"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!"
bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari
pinggang Wongso, karena ia tahu Wongaso tak
bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan
tangan kanannya remuk, sedangkan tangan
kiri Wongso tidak begitu piawai untuk
memainkan senjata apa pun.
Mata bocah itu membelalak tegang.
Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan
keluar lagi kecuali nekat menerobos kepungan
dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayunayunkan
oleh Mayong itu membuat hati bocah
itu menjadi ciut nyali dan menggigil
tubuhnya.
"Kalau kau bisa remukkan kapakku, maka
kepalamu pun akan kuremukkan!" geram
Mayong sambil kian mendekat. Angon Luwak
kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa
keluarkan suara apa pun.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari
belakang Mayong dan Wongso,
"Memalukan sekali. Bocah kecil dikeroyok
dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar
memalukan!"
Kedua lelaki bertampang bengis itu segera
balikkan badan menatap orang yang dianggap
bicara sembarangan itu. Ternyata seorang
gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu
ada seorang pemuda menyandang bumbung
tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar
Mabuk dan Mega Dewi.
"Jangan lancang mulutmu, Gadis Dungu!
Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu,
tahu?!" geram Mayong kepada Mega Dewi.
Gadis itu hanya tersenyum sinis. Suto
Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut
campur. Karena ia merasa yakin bahwa Mega
Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang
bengis itu. Mega Dewi maju sendirian tanpa
rasa takut sedikit pun, sebab ia percaya
kalaupun ia terdesak dan hampir kalah, pasti
Suto Sinting tak akan tinggal diam.
"Apa salah bocah itu sampai kalian berdua
mengeroyoknya? Apakah tak malu pada diri
sendiri?!"
"Persetan dengan kata-katamu! Kami
punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut
campur!" geram Wongso dengan menahan rasa
sakit dan berpura-pura tidak mengalami
remuk tulang.
"Biarkan bocah itu pergi. Jangan kalian
takut-takuti dengan kapak itu!"
"Berani-beraninya kau memerintah si
Kapak Kembar, hah?! Apakah kau belum
mendengar keganasan kami, si Kapak Kembar
ini?!"
"Tak perlu kudengar, karena keganasanmu
hanya kepada anak kecil. Kau tak akan berani
ganas kepada orang seusiaku!"
Wongso menggeram dengan gigi
menggeletuk, wajahnya merah menahan
marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya
mulai semburat merah menandakan
kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun.
"Apa maumu sebenarnya, Gadis Dungu?!"
"Bebaskan bocah itu. Kalau kalian ingin
murka, jangan kepada bocah itu. Dia bukan
tandingan kalian. Akulah tandingan kalian!"
"Keparat! Rasakan jurus 'Kapak Malaikat'
ini, Gadis Dungu! Heaaah...!"
Mayong maju menyerang dengan tubuh
berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap
membabat apa saja yang dikenainya. Tetapi
Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke
tanah, tubuhnya melenting di udara. Kakinya
menjejak bagai orang berlari cepat, tepat
mengenai kepala Mayong beberapa kali dan
secara beruntun.
Dug, dug, dug, dug...!
Mayong menggeloyor hendak jatuh. Namun
ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya.
Saat itu juga dipijakkan kakinya ke tanah.
Jleeg .! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan
tendangan putar yang amat kuat. Wuuut...!
Plook...!
Wajah Mega Dewi terkena tendangan putar
itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang.
Untung ia bisa menahan gerakannya, sehingga
urung masuk ke jurang. Ia sentakkan kakinya
dan bersalto mundur dua kali. Tab, tab...!
Tahu-tahu tiba di samping Wongso. Kaki
Wongso segera menyambar kembali dengan
jurus tendangan yang sama. Mega Dewi
rendahkan badan, lalu dengan tangan
bertumpu di tanah ia menendang rusuk
Wongso dengan kaki kanannya yang miring.
Duuus...!
"Ahg...!" Wongso tersentak hingga
terhuyung huyung beberapa langkah. Pada
waktu itu Mayong datang menghantamkan
kapaknya untuk membelah punggung Mega
Dewi. Namun dengan cepat Mega Dewi
bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya
sudah terhunus.
Pisau itu ditikamkan ke arah bagian bawah
ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil
ditangkis dengan kaki merentang tinggi.
Jruub...!
"Aaahg...!"
Mayong terpekik. Kapaknya jatuh ke
tanah. Bocah berkulit hitam itu segera
menyambar kapak itu pada saat Mayong
dibabat ujung pisau dari samping kanan ke
kiri. Breeet...!
Dada Mayong koyak seketika. Darah
mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai
rahang Mayong. Serta-merta Mega Dewi
lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa
lagi.
Wajah Mayong menyeringai menahan sakit
pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak
yang jatuh. Namun terkejut melihat kapak itu
sudah di tangan Angon Luwak. Bocah itu
meremas mata kapak dengan kuat. Praaas...!
Hancur menjadi serbuk besi yang amat
mengagumkan. Kapak itu tinggal bagian
gagangnya saja, lalu gagang kapak itu
diserahkan kepada Mayong. Ketika Mayong
ingin meraih dengan terbungkukbungkuk
karena sakit. Angon Luwak
menghantamkan gagang kapak ke kepala
Mayong dengan telaknya.
Pletok...!
"Adaaaoow...!" kedua tangan Mayong jadi
berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak
dibuang. Angon Luwak berlari mendekati Mega
Dewi, seakan berlindung di sana dari
pembalasan Mayong.
"Tinggalkan mereka! Cepat!" seru Wongso
sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka pun
segera lari. Tak sedikit pun berpaling ke
belakang. Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun
bengong memandangi Angon Luwak, merasa
kagum melihat bocah kecil mampu
meremukkan besi mata kapak itu. Suto segera
bertanya,
"Siapa yang memberimu ilmu untuk
meremukkan benda keras itu, Nak?"
"Kakek... eh, anu... guru saya. Kang."
"Siapa gurumu?" tanya Suto lagi.
"Hmmm... namanya...," Angon Luwak
mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya,
Kang."
"Lho, kok sampai lupa? Kau belajar di
mana?"
"Di... di alam mimpi, Kang."
Pendekar Mabuk dan Mega Dewi saling
pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian
mereka kembali memandang Angon Luwak.
Mega Dewi bertanya setelah memasukkan
pisaunya.
"Jawab yang benar, di mana kau belajar
ilmu itu?"
"Di mimpi, Kang. Sumpah!"
"Di mimpi...?!" gumam Suto Sinting.
Angon Luwak berkata, "Soalnya, guruku
tukang tidur, Kang."
"Maksudmu tukang tidur bagaimana?" tanya
Mega Dewi.
"Dia bertarung sambil tidur."
Suto menyahut dalam gumam, "Janganjangan
Ki Gendeng Sekarat!"
"Nah, betul!" teriak Angon Luwak. "Itu
nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng
Sekarat!"
Suto dan Dewi semakin terperangah dan
sama-sama beradu pandang.
"Sejak kapan Ki Gendeng Sekarat
mengangkat murid?" gumam Suto seperti
bicara pada diri sendiri.
"Pokoknya ya sejak aku disuruh tidur di
sampingnya," kata Angon Luwak menyangka
diajak bicara Suto.
"Sekarang ke mana gurumu itu? Ke mana Ki
Gendeng Sekarat?!"
"Pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ndak tahu, Kang! Waktu aku bangun dari
tidur dia sudah pergi!"
"Coba tunjukkan di mana tempat kalian
tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari
sana!" kata Suto. Kemudian Angon Luwak
membawa mereka ke tempat pertemuannya
dengan Ki Gendeng Sekarat. 


5

PENDEKAR Mabuk lemparkan pandangan ke
sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak
dengan Ki Gendeng Sekarat. Tak ada jejak
yang bisa digunakan untuk melacak perginya
Ki Gendeng Sekarat. Angon Luwak
menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat
dengan seekor harimau hitam jelmaan seorang
perempuan yang diingatnya bernama Tandak
Ayu. Mendengar nama Tandak Ayu, Mega Dewi
terperanjat dan wajahnya berubah tegang.
Hal itu diketahui oleh Suto Sinting.
"Apakah kau kenal dengan Tandak Ayu?"
"Dia muridnya Nyai Demang Ronggeng,
satu-satunya tokoh tua yang punya jurus
'Tarian Mayat'," jawab Mega Dewi menyimpan
kecemasan.
"Tarian Mayat?" gumam Suto. "Seingatku Ki
Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus
'Pembangkit Mayat', dan ia bisa membekali
ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang
dibangkitkan. Ketika dia tinggal di Pulau
Mayat, dia punya pasukan mayat sendiri."
Wajah gadis itu kian menegang, "Apakah Ki
Gendeng Sekarat pernah tinggal di Pulau
Mayat?"
"Justru pertemuanku dengannya justru di
Pulau Mayat."
"Kalau begitu dia murid dari Eyang
Pramban Jati?!"
"Benar. Dia pernah menceritakan hal itu
kepadaku. Dari mana kau tahu?"
"Ayahku pernah bercerita tentang murid
Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid
Eyang Pramban Jati ada dua, yaitu Ki Gendeng
Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng. Tapi
murid perempuan Eyang Pramban Jati lari ke
aliran sesat. Hanya Ki Gendeng Sekarat yang
berhasil menyerap semua ilmu Eyang Pramban
Jati. Dulu, ayahku pernah ditolong oleh Ki
Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."
Setelah merenung sejenak, Suto pun
berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Lalu, apa alasannya murid Nyai Demang
Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat?
Apakah itu perintah dari gurunya?"
"Mungkin saja. Dan tidak menutup
kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng
Sekarat pergi menemui Nyai Demang
Ronggeng untuk menuntut balas atas
penyerangan muridnya itu."
"Apakah kau tahu di mana Nyai Demang
Ronggeng bertempat tinggal?"
"Sayang sekali tidak," jawab gadis
berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal
seseorang yang mengetahui tempat tinggal
Nyai Demang Ronggeng. Orang itu tinggal di
desa Kukusan, dia seorang pandai besi yang
berjuluk Ki Empu Sakya!"
Mendengar nama Ki Empu Sakya, bocah
penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah
Ki Empu Sakya, Kang!"
"O, kau tahu?"
"Ya. Kedua orang bengis yang mengejarku
itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke
rumah Ki Empu Sakya. Tapi aku tak mau.
Kang."
"Kenapa kau tak mau?"
"Karena orang bengis itu pasti akan
memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta
pusaka secara kasar. Aku kasihan kepada Ki
Empu Sakya."
"Pusaka apa?"
"Setahuku, banyak orang yang membujuk
Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris
pusaka yang bernama Keris Setan Kobra,
Kang."
"Keris Setan Kobra?!" Mega Dewi terkejut
secara terang-terangan. Suto semakin ingin
tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi
sebelum Suto Sinting bertanya, gadis
berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan
maksudnya.
"Keris Setan Kobra mempunyai kekuatan
ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan
hilang lenyap tak berbekas sedikit pun. Hanya
orang-orang tertentu yang mengetahui
kehebatan keris tersebut dan mengetahui
siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki
Empu Sakya untuk memiliki keris itu,
setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga
diserang oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki
Empu Sakya mempertahankan keris tersebut."
"Kalau begitu sebaiknya kita temui saja Ki
Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat pergi
ke sana menanyakan di mana tempat tinggal
Nyai Demang Ronggeng."
"Mari kutunjukkan rumah Ki Empu Sakya,
Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa.
Padahal tanpa Angon Luwak, Mega Dewi
sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya,
karena dulu ia pernah diajak almarhum
ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.
Ternyata orang yang berjuluk Ki Empu
Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh
pendek, seperti anak kecil. Tinggi badannya
sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak.
Tetapi dari raut wajahnya, dari uban rata di
rambut dan jenggot tipisnya, orang dapat
menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki
yang berusia di atas enam puluh tahun. Ia
gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat
kepala kain hitam. Pakaiannya menyerupai
pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan
sisanya diselempangkan ke pundak kanan. Ikat
kepalanya menutup sebagian rambut putih,
bersimpul di bagian belakang.
Sekalipun demikian keadaan Ki Empu
Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting
sangat menghormat kepada Ki Empu Sakya.
Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap
hormat dan sungkan kepada Suto. Sampaisampai
ketika ia menerima kedatangan Suto,
ia lebih dulu membungkukkan badan memberi
hormat setelah menatap Suto beberapa saat.
"Jangan menghormat kepadaku, Ki Empu
Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu
menerima hormatmu."
"Anak muda, bagi orang lain bisa saja tidak
menghormatmu, tapi bagiku harus
menghormatmu, karena aku melihat tanda di
keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya
gelar tinggi dari Gusti Ratu Kartika Wangi,
penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."
Mega Dewi kerutkan dahinya mendengar
kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada
saat Ki Empu Sakya berkata,
"Hanya seorang Manggala Yudha yang
mendapatkan tanda seperti itu di keningmu,
Anak Muda."
Suto Sinting menjadi tak enak hati
dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh
buat, tanda merah di keningnya itu tak bisa
ditutupi. Hanya orang-orang berilmu tinggi
yang bisa melihat tanda merah kecil sebesar
biji jagung itu. Jika Ki Empu Sakya bisa
melihatnya, berarti dia orang berilmu tinggi.
"Apa maksud kata-kata Ki Empu Sakya itu?"
bisik Mega Dewi kepada Suto.
"Lupakan saja kata-kata tersebut. Biarkan
beliau beranggapan apa saja," Suto
menyembunyikan penghormatan itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode:
'Manusia Seribu Wajah').
Angon Luwak menceritakan pengejaran
kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki
Empu Sakya. Lelaki kurus dan kecil yang sudah
banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon
Luwak sambil mengucap terima kasih atas
tekad sang bocah yang tidak mau
menunjukkan tempat tinggalnya.
"Si Kapak Kembar adalah orang sesat yang
ingin menguasai aliran hitam sejak dulu.
Sekalipun ia tak bakal mampu memaksaku,
tapi aku menghargai niat baikmu, Angon
Luwak. Sekarang pulanglah dulu dan urus
kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku
ini. Nanti malam datanglah kemari bersama
teman-temanmu, aku akan mendongeng
tentang tokoh-tokoh yang masuk dalam
aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti
akan tertarik mendengarkannya."
"Terima kasih, Ki, Aku akan
memberitahukan mereka untuk datang
mendengarkan ceritamu!" Angon Luwak
berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu
akrab dengan Ki Empu Sakya, karena Ki Empu
Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa
Kukusan untuk menceritakan dongeng tentang
jago-jago silat dan para tokoh tua di rimba
persilatan.
"Bagaimana kabar ayahmu, Mega Dewi?"
Pertanyaan itu dijawab dengan linangan
air mata. Gadis berkepang dua menceritakan
pertarungan ayahnya dengan Iblis Naga
Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu
Sakya tarik napas dalam-dalam,
menyembunyikan perasaan duka, menahan
geram kemarahan. Ternyata ia termasuk
orang yang pandai mengendalikan nafsu
amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah
kelihatan tenang kembali.
Lalu, Suto Sinting pun menanyakan tentang
Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya
tidak mau membicarakan tentang Iblis Naga
Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat
hati Mega Dewi semakin pedih jika hal itu
dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki
Empu Sakya menghindari percakapan tentang
keris pusakanya itu, sehingga ia lebih tertarik
untuk menjawab pertanyaan Suto Sinting.
"Gendeng Sekarat memang baru saja pergi
dari sini, tapi bukan untuk menanyakan
tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Ia
hanya menengokku dan mencarimu, Suto
Sinting. Ia sekarang pergi ke arah barat."
"Jika begitu saya harus segera
menyusulnya, Ki Empu Sakya."
"Silahkan. Tapi kuharap Mega Dewi mau
tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada yang
ingin kubicarakan denganmu, Mega Dewi.
Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu
itu. Apakah kau bersedia?"
"Saya bersedia," jawab Mega Dewi setelah
memandang Suto sesaat, karena hatinya ingin
ikut Suto, tapi si sisi lain ia merasa perlu
berbicara tentang kematian ayahnya dengan
tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.
Kini Pendekar Mabuk mengejar Ki Gendeng
Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan
keterangan Ki Empu Sakya, Suto berlari ke
arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki
Gendeng Sekarat. Sebab ia tahu, jika Ki
Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada
pesan yang harus disampaikan kepada Suto
dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang
dicintai itu. Ingat tentang wanita cantik yang
dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk ingat
pula pada seraut wajah beku milik Siluman
Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang selalu tampil
dengan jubah hitam bagaikan El Maut itu
sampai sekarang belum berhasil dipenggal
kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala
itu merupakan syarat untuk mengawini Dyah
Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh
Nyawa itu terlalu licin, sehingga sudah
beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil
menjumpai tokoh sesat yang amat ditakuti
oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran
hitam itu.
Perjalanan Suto Sinting terpaksa terhenti
karena merasa dihadang oleh seorang pemuda
berpakaian merah dengan hiasan benang
emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan
bangsawan dilihat dari jenis pakaian dan
penampilannya. Ia menyelipkan sebilah
pedang bertarungkan logam emas. Pedang
kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah
pada bagian gagangnya. Pemuda itu berusia
sedikit lebih muda dari Suto Sinting. Wajahnya
tampan dengan kumis tipis yang
menampakkan kesan keningratannya.
Pemuda itu turun dari atas kuda putihnya,
sementara kedua pengawalnya berbadan
besar juga segera melompat turun dari
masing-masing kudanya. Salah seorang
pengawal yang mengenakan ikat kepala dari
logam perak itu maju mendampingi pemuda
tampan tersebut, sedangkan yang satunya lagi
mengurus kuda, membawanya ke bawah
pohon.
"Paman Gandra, tak salah lagi
penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi
kulihat berjalan bersama Mega Dewi!" kata
pemuda berpakaian bangsawan itu kepada
pengawalnya.
"Kalau begitu biar saya yang
menanganinya, Raden Udaya!" kata sang
pengawal yang bernama Gandra dengan
suaranya yang besar. Ia segera memanggil
temannya, "Rangku, kepung orang ini!"
Wuut...! Jleeg...!
Orang bermata lebar yang dipanggil
dengan nama Rangku itu cepat melompat dan
bersalto di udara satu kali. Dalam sekejap ia
sudah berada di sebelah kiri Suto Sinting.
Gandra yang berkumis tebal itu ada di sebelah
kanan, sedangkan pemuda tampan yang
bernama Raden Udayo itu berhadapan di
depan Suto.
Pendekar Mabuk hanya kerutkan dahi
sebentar, lalu kembali bersikap tenang.
Matanya memandang ke arah Raden Udaya
tanpa kesan takut sedikit pun.
"Apa maksudmu menghentikan langkahku,
Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip
nama yang disebutkan Gandra tadi.
"Kita punya perhitungan sendiri atas
kelancanganmu berani pergi dengan Mega
Dewi!" kata Raden Udayana dengan ketus dan
bernada sombong.
"Apa salahku pergi dengan gadis itu?"
"Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak
Raden Udaya mulai menampakkan
kemarahannya. Tetapi Suto Sinting justru
tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak
peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak
khawatir sedikit pun walau telah dikepung
oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing
telah mencabut senjatanya berupa trisula dan
kapak dua mata.
"Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran
supaya tahu adat!"
Gandra ingin maju menyerang, tapi tibatiba
punggungnya bagaikan ada yang
menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak
jauh dilepaskan seseorang dari tempat
persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra
terhentak dengan napas tertahan dan badan
melengkung ke depan. Ketika badan itu
kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari
mulut lelaki berkumis lebat itu.
"Paman Gandra! Kenapa kau?!" Raden
Udaya kaget dan menjadi tegang.
"Keparat! Mau coba-coba melawan orang
kadipaten kamu, hah?! bentak Rangku kepada
Suto Sinting.
"Hei...! Bukan aku yang menyerangnya!"
kata Suto membela diri.
Sementara Gandra segera terkulai lemas
dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku
menyerang Suto Sinting dengan menebaskan
kapak bermata dua dalam satu lompatan
liarnya.
"Heaaah ..!"
Clap...! Deess...!
Kilatan cahaya hijau terlihat melintas di
depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya
hijau kecil itu tepat kena di dada Rangku.
Orang itu robek seketika. Mengerang dan
berkelojotan di tanah.
"Aaahhgg...! Uuhgg...!"
Wajah Rangku menjadi biru, matanya
mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa
warna merah darah. Hal itu membuat Raden
Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai
ciut nyali melihat dua pengawalnya roboh
dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu
jurus saja. Raden Udaya memandang ngeri
kepada Rangku yang masih kelojotan bagai
ingin temui ajalnya.
Suto Sinting sendiri merasa heran melihat
kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya.
"Siapa orang yang telah membantuku secara
diam-diam?"
Pertanyaan itu segera terjawab dengan
munculnya seorang pemuda berpakaian biru
cerah. Pemuda itu muncul dari balik pohon
dengan senyum kemenangan.
"Wiratmoko?!" gumam Suto dengan
terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum
geli melihat kemunculan Wiratmoko.
Raden Udaya lebih terkejut lagi melihat
kemunculan pria berambut ikal agak panjang
itu. Wajah berkumis tipis itu makin tegang
dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur
beberapa tindak begitu Wiratmoko
memandang ke arahnya. Ia tampak sekali
ketakutan.
"Bawa pergi kedua pengawalmu kalau kau
tak ingin lebih parah dari mereka!" kata
Wiratmoko dengan tegas. Perintah itu
membuat Raden Udaya gemetar. Dengan
susah payah ia membawa kedua pengawalnya
yang masih bernyawa, menaikkan ke punggung
kuda masing-masing, lalu segera membawanya
pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari
Wiratmoko terdengar di sela derap kaki kuda.
"Kenapa kau menolongku, Wiratmoko?"
"Karena kau pernah selamatkan nyawaku
dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai
ucapan terima kasihku padamu, Suto Sinting!"
jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri
tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk
pundak Suto Sinting bagai melepas rasa rindu
karena lama tak jumpa.
"Tapi kenapa waktu itu kau menghilang?"
"Karena aku kebingungan mencarimu,"
jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana
untuk mengucapkan terima kasihku padamu,
tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto
Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai
menghilang rupanya."
"Justru kau yang pandai menghilang,
karena aku tak berhasil temukan dirimu
setelah itu," kata Suto dengan sikap
bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan
Raden Udaya itu tadi?"
"Dia kenal diriku, karena aku pernah bantu
ayahnya mengusir dua pengacau dari
pelataran kadipaten. Aku tak tahu nama
pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang
adipati. Ah, sudahlah! Lupakan pemuda yang
memang sombong dan sering berlagak jago
itu. Sekarang kau mau ke mana, Suto?"
"Mencari seseorang. Tokoh tua yang sangat
akrab denganku. Namanya Ki Gendeng
Sekarat. Dia mencariku, pasti ada keperluan
penting untuk urusan pribadi. Kabarnya dia
pergi ke arah barat dan aku mengejarnya, tapi
terhalang oleh orang kadipaten itu."
Wiratmoko manggut-manggut. "Mari
kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan
sesuatu kepadamu, Suto."
Sambil melangkah seiring, Suto bertanya,
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tentang orang yang menyerangku dari
belakang itu. Apakah kau tahu siapa
orangnya?"
"Apakah kau tak kenali jenis pukulan
mautnya?"
"Tidak," jawab Wiratmoko dengan sungguhsungguh.
"Sebab itulah aku ingin tahu, siapa
orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat
itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan mati
dalam beberapa kejap saja."
"Ya. Aku memang mengenalnya, karena
aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah
ia berhasil memukulmu itu. Orang tersebut
adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu,
rambutnya panjang tak diikat, juga berwarna
abu abu, mengenakan jubah putih kusam,
tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."
"Hmmm...," Wiratmoko menggumam
sambil manggut-manggut.
"Kau pasti mengenali ciri-ciri itu!"
"Ya. Dia adakah si Raja Maut, tokoh tua
dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh
bebuyutan guruku..."
"Dampu Sabang?" potong Suto.
Wiratmoko terkejut. "Dari mana kau tahu
nama guruku?"
"Raja Maut yang mengatakannya."
"Oh...?" wajah Wiratmoko tampak
menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang
ia katakan padamu, Suto?"
"Tidak banyak. Dia hanya bilang, bahwa
kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia
mengingatkan padaku agar jangan turut
campur dengan urusannya. Rupanya kau punya
urusan pribadi dengan Raja Maut itu,
Wiratmoko."
"Memang. Urusan itu sangat pribadi
sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang
jelas, Raja Maut adalah tokoh tua yang
serakah dan ingin menguasai dunia persilatan.
Dia ingin menumbangkan beberapa tokoh tua
dengan ilmu yang baru diperolehnya."
"Ilmu apa?"
"Naga Pamungkas!"
Suto Sinting terkejut sampai hentikan
langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang
bergelar Iblis Naga Pamungkas?"
"Betul!" jawab Wiratmoko dengan tegas.
"Dia ingin membunuh para tokoh tua dari
golongan hitam ataupun putih. Salah satu
orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu
sendiri; si Gila Tuak!"
Bagaikan petir menyambar di ujung hidung
Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik
kuat dan jantung bagaikan berhenti. Darah
Suto mendidih mendengar gurunya akan
dibunuh. Terbayang nasib Ki Lurah Pramadi
yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas.
Suto tak ingin gurunya mengalami nasib yang
sekejam itu.

6

SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa
Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi
Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke
sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu
Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu membawa
pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut
ke Pulau Blacan.
"Biarkan dia berhadapan dengan Nyai
Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti
akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang
Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat
Suto Sinting sempat terperanjat.
"Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam
di Pulau Blacan?"
"Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang
Ronggeng punya kesaktian yang mampu
membuat Raja Maut tumbang atau melarikan
diri terbirit-birit."
"Seberapa dekat kau mengenal Nyai
Demang Ronggeng?"
"Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar
ceritanya dari mulut ke mulut!"
"Pantas jika Iblis Naga Pamungkas ingin
membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya Raja
Maut yang bergelar Iblis Naga Pamungkas itu
juga mengkincar kematian Nyai Demang
Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng
dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara
seperguruan, sama-sama murid Eyang
Pramban Jati."
"O, jadi Ki Gendeng Sekarat juga akan
dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas? Kau tahu
dari siapa, Suto?"
"Namanya Mega Dewi, anak gadis Ki Lurah
Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis Naga
Pamungkas. Dialah yang memberitahukan
rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan
membunuh Ki Gendeng Sekarat. Karenanya
aku harus segera menemukan Ki Gendeng
Sekarat dan memberitahukan ancaman itu,
sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis
Naga Pamungkas itu!"
Setelah melangkah sambil termenung
sesaat, tiba-tiba langkah Wiratmoko
terhenti. Tangannya menahan tangan Suto
dengan dahi berkerut. Suto memandang
dengan rasa ingin tahu.
"Jangan-jangan Raja Maut memburu
Mega Dewi? Sebab Mega Dewi adalah anak Ki
Lurah Pramadi, tentunya Raja Maut tak ingin
ada bibit dendam yang kelak dapat menjadi
duri dalam hidupnya. Aku yakin Raja Maut
tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari
Mega Dewi untuk dibunuh, biar kelak tak ada
yang menyimpan dendam kepadanya."
Suto kian tajam mengerutkan dahinya.
"Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya
dalam gumam. "Tapi selama aku bersama
Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan
Raja Maut. Kupikir dia benar-benar pergi
ke pulau Blacan."
"Dia pun mencari Mega Dewi, tapi tak
ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan
tahu permusuhannya yang ganas itu kepada
Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada
dimana?"
"Di rumah Ki Empu Sakya. Kurasa dia aman
bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya Ki
Empu Sakya mempunyai keris pusaka yang
amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."
"Celaka! Raja Maut pasti menuju ke sana!"
kata Wiratmoko dengan tegang.
"Dari mana kau yakin begitu?"
"Sebab Keris Setan Kobra adalah pusaka
yang diincarnya. Dia takut dikalahkan dengan
keris pusaka itu. Aku pernah dengar
keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika
Raja Maut sebagai Iblis Naga Pamungkas ingin
menguasai keris pusaka itu supaya tak ada
saingannya."
"Tapi Ki Empu Sakya pasti mampu
mengatasi Raja Maut!"
"Belum tentu!" bantah Wiratmoko tegastegas.
"Jika Ki Empu Sakya terlambat
menggunakan keris itu, ia akan mati di tangan
Raja Maut. Tak urung gadis itu pun akan
dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."
"Benar juga perhitunganmu," gumam Suto
mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan jika
begini? Mencari Ki Gendeng Sekarat atau
kembali ke rumah Ki Empu Sakya untuk
menyelamatkan Mega Dewi?"
"Begini saja," kata Wiratmoko. "Kau
teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku
akan pergi ke rumah Ki Empu Sakya untuk
menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah
rumah Ki Empu Sakya, karena aku belum
pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil
bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat, susullah
kami. Aku dan Mega Dewi menunggu
kedatangan kalian di rumah Ki Empu Sakya."
"Apakah kau sanggup mengalahkan Raja
Maut?"
"Tentunya jika dengan dibantu Ki Empu
Sakya kami bisa kalahkan dia!"
"Baiklah. Jika begitu kita berpencar mulai
sekarang!" Suto memutuskan langkah. Ia
meneruskan mencari Ki Gendeng Sekarat
sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah
Ki Empu Sakya setelah mendapat keterangan
arah rumah empu sakti itu.
Pengejaran menyusul Ki Gendeng Sekarat
bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali
mengalami hambatan dengan munculnya
kelinci yang berlari-lari di tepian semak.
"Hei, itu seperti kelinci yang kuburu
tempo hari?!" pikirnya. Suto sempat
tersenyum geli kemudian segera mengejarngejar
kelinci itu. Ciri yang tak dapat
dilupakan Pendekar Mabuk pada kelinci itu
adalah terletak di bagian ujung telinga kiri.
Kelinci itu mempunyai bulu hitam di telinga
kirinya, berbentuk seperti gambar hati. Bulu
hitam kecil itu mempercantik kelinci tersebut,
sehingga waktu itu Suto Sinting tak tega untuk
menyantap kelinci itu. Kali ini ia
menangkapnya karena gemas dan ingin
bercanda dengan kelinci cantik tersebut.
Anehnya, kelinci itu kini tidak terlalu liar
dan mudah ditangkap. Dua kali gagal, ketiga
kalinya kelinci itu sudah jatuh dalam
genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.
"Nah, nah, nah... kau tertangkap sekarang!
Mau ke mana kau, Manis? Mau menggodaku
lagi? Oh, kau memang nakal! Hhmmm...!"
Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke
pipinya dengan gemas-gemas senang. Sambil
melangkah ia berbicara dan bercanda dengan
kelinci itu. Perut kelinci digelitiknya sehingga
binatang itu menggerinjal beberapa kali
karena kegelian. Suto tertawa senang melihat
kelinci itu kegelian.
Namun ketika Suto Sinting melewati bawah
pohon rindang dengan ilalang rimbun di sanasini,
tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang
bagai ditendang kelinci. Slaaap...! Cahaya
terang menyala kuat timbulkan tenaga
pendorong yang membuat Suto hampir jatuh
terjengkang ke belakang. Matanya pun segera
terbelalak lebar melihat kelinci itu berubah
wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat
telur, hidung mancung, mata sedikit lebar
berkesan nakal menggoda. Rambutnya
disanggul sebagian, dadanya sekal dibungkus
pakaian kuning cerah. Di rambutnya yang
disanggul terlilit pita kuning. Sebilah pedang
tersandang di punggungnya.
Pendekar Mabuk terperangah kagum
melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci
itu. Perempuan tersebut tertawa kecil
dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih
merasakan sisa geli karena gelitikan Suto tadi.
Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika
kelinci tadi diciumkan ke pipinya, berarti
gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.
"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku
yang dulu pernah kutangkap itu?"
"Benar. Sekarang kau tahu wujudku,
karena... karena kau telah menyuruhku
mencium pipimu, Pemuda Tampan."
Suto semakin malu dan tersipu. Untuk
menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan
orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke
arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang
Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya.
"Apakah sekarang kau masih berani
menggelitik perutku?"
Suto Sinting semakin salah tingkah. Rasa
sesal dan malu bercampur menjadi satu,
menimbulkan rasa geli sendiri di dalam
hatinya.
"Kalau kau masih ingin menggelitikku,
silakan!" Tandak Ayu menantang dengan
semakin maju. Matanya memandang nakal,
penuh godaan yang mendebarkan hati setiap
lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum
pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto
Sinting nekat mendekati wajah itu.
"Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci
jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke
batang pohon. Pundak dan lengannya
disandarkan di batang pohon itu,tapi matanya
masih tertuju kepada Tandak Ayu.
"Kalau tak salah dengar, namamu Suto
Sinting, bukan?"
"Ya. Tapi aku belum tahu namamu," kata
Suto Sinting.
"Namaku...," Tandak Ayu berpikir sejenak.
"Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti."
Tandak Ayu memalsukan nama karena maksud
tertentu.
"Suti? Oh, hampir sama dengan namaku?"
"Memang sepertinya kita memang
dijodohkan: Suto ketemu Suti, sungguh
pasangan yang serasi dan pasti akan abadi."
Agaknya Tandak Ayu tertarik kepada
ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara
membatasi diri dan menjaga perasaannya agar
tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu.
Suto hanya tertawa kecil mendengar katakata
itu. Tandak Ayu melangkah sambil
memetik-metik daun ilalang, lama-lama
berada dalam jarak dekat dengan Pendekar
Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah
membuat Suto sempat kian berdebar-debar
karena melihat jelas rona kecantikan Tandak
Ayu dan belahan dadanya yang menonjol
bagaikan sengaja dipamerkan itu.
"Kelihatannya kau lelah dalam
perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin
beristirahat di balik rimbunan semak sebelah
sana? Tempatnya teduh dan sepi. Rapat dari
incaran mata manusia nakal." kata Tandak Ayu
dengan suara merdu.
"Aku memang lelah, tapi bagiku cukup
beristirahat di bawah pohon ini saja."
"Di sini tak aman," bisik Tandak Ayu yang
kian merapat. Kini ia berani menaruh
tangannya di pundak Suto Sinting. Senyum dan
tatapan mata kian menggoda. Gemuruh di
dalam dada Suto berusaha ditekan habishabisan,
namun hal itu amat sulit dilakukan
oleh Suto.
"Aku bisa memijat bagian tubuhmu yang
lelah, Suto."
"Aku tak sangka kalau kau ternyata tukang
pijat."
"Iiih...! Menghina!" Tandak Ayu merajuk,
manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto
semakin panas dingin. Tandak Ayu tak mau
berhenti membujuk, suaranya semakin
terdengar manja menggairahkan.
"Aku bukan seorang tukang pijat. Tapi aku
bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal itu
bisa kulakukan, Suto. Cukup lama aku
mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin
sekali memijat bagian tubuhmu yang lelah.
Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat
orang. Aku malu. Kita ke semak-semak sana
saja."
"Apa bedanya memijat di sini dan di sana?"
pancing Suto ingin tahu.
"Di sana aku berani memijat bagian mana
saja, sesuai dengan yang kau suka. Di sini aku
tak bisa menuruti permintaanmu," jawabnya
dalam berbisik, mata beningnya tak berkedip,
bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah
Suto Sinting dari jarak dekat.
"Ayolah ke sana...," Tandak Ayu menariknarik
tangan Suto, tapi pemuda itu hanya
tersenyum-senyum tak mau beranjak dari
tempatnya.
Tiba-tiba dari semak di belakang Tandak
Ayu melesat sekelebat bayangan yang
langsung menendang punggung wanita itu.
Wruuss...! Duuhg...!
"Aahg...! Tandak Ayu terpekik tertahan.
Tubuhnya terpental ke depan dan bergulingguling
di rerumputan.
Suto Sinting terkejut bukan kepalang
tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang
kuda-kuda untuk menyerang. Tapi kuda-kuda
itu segera mengendur setelah Suto mengenal
wajah penyerang tersebut.
"Kirana...?!"
"Maaf aku mengganggumu, karena aku tahu
dia perempuan jalang!" kata Kirana dengan
wajah ketus, seakan menaruh cemburu
kepada peristiwa tadi.
Sebelum Suto Sinting bicara lagi, dari arah
lain muncul Citradani yang melompat dengan
lincahnya, lalu mendaratkan kaki dengan
sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto
makin terperangah heran.
"Citradani?! Kau ada di sini pula?"
"Ya, aku dan Kirana mencarimu. Ternyata
kau justru berkasih-kasih dengan perempuan
jalang itu!"
"Aku tidak... tidak... hmmm.... Dia yang
merayuku dan mengajakku ke semak-semak
sana. Katanya dia mau memijatku, sesuai
dengan bagian yang kuperintahkan untuk
dipijat."
"Kenapa kau tak pergi ke semak-semak
sana?" ketus Kirana.
"Karena..., karena aku tak berani. Di sana
banyak setan. Aku takut dikalahkan oleh
setan."
"Perempuan itulah ratu setan!" geram
Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang
kini telah berdiri. Tulang punggungnya
bagaikan mau patah karena tendangan Kirana.
Mata Tandak Ayu memandang benci kepada
Kirana dan Citradani.
"Kalian memang cari penyakit!" geram
Tandak Ayu.
"Memang benar. Mau apa kau?!" sentak
Citradani sambil maju selangkah.
"Tunggu! Kalian salah paham. Jangan
bentrok karena kesalahpahaman!" cegah
Pendekar Mabuk. Ketika mau maju, tangan
Kirana yang ada di sampingnya segera
menahan lengannya.
"Biarkan Citradani menanganinya. Dia
punya urusan pribadi dengan perempuan
jalang itu!" kata Kirana masih ketus seperti
tadi.
"Tapi kalian salah paham. Aku belum
diapa-apakan oleh Suti!"
"Siapa yang bernama Suti? Dia...?!
Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya
Tandak Ayu, bukan Suti!"
"Tandak Ayu...?!" Suto Sinting terkejut,
ingat dengan cerita Angon Luwak tentang
pertarungan singkat Tandak Ayu dengan Ki
Gendeng Sekarat.
Suto segera berkata dengan sikap tak
bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah
murid Nyai Demang Ronggeng, yang
menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan
berubah wujud menjadi harimau hitam?!"
Tandak Ayu melirik sinis pada Suto.
Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya
tidak berhasil. Tapi perhatiannya kini tercurah
kepada Citradani, karena Citradani berseru
dengan suara lantang.
"Kembalikan kalung pusaka Lintang Suci
itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang juga,
Tandak Ayu!"
Mendengar kalung pusaka Lintang Suci
disebut-sebut, mata Suto segera
memperhatikan kalung berbandul kristal
bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu.
Hatinya pun berkata, "O, benar. Kalau begitu
dia memang Tandak Ayu. Dia punya urusan
pribadi dengan Citradani, terbukti kalung yang
pernah diceritakan Citradani kepadaku itu ada
di leher Suti, eh.... Tandak Ayu!"
Terdengar pula Tandak Ayu perdengarkan
suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa
langkahi mayatku, ambillah kalung ini!"
"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja.
Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi
mayatmu tujuh kali bolak-balik!"
"Lakukanlah! Aku sudah siap menerima
seranganmu. Citradani!"
"Heaaat...!" Citradani lompat ke depan,
tubuhnya berputar cepat melayangkan
tendangan kipasnya. Wuuutt...! Tendangan itu
dihindari oleh Tandak Ayu.
Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil
pukul punggung Citradani dengan sentakan
telapak tangannya. Duuuhg...!
"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan,
darah muncrat dari mulutnya. Hal itu
membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana
sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke
pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri
mengingat pertarungan itu adalah urusan
pribadi meraka masing-masing.
Rupanya Citradani masih kuat walau telah
menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Terbukti ia segera berbalik menghadap ke
arah lawannya dengan pedang dicabut dari
sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu
tak mau kalah serang, ia pun mencabut
pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih
panjang dari pedang milik Citradani. Tapi
Citradani tidak gentar sedikit pun.
"Hiaaaat...!"
"Heaaah...!"
Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang,
trang...!
Mereka sama-sama lompat ke udara dan
beradu pedang di sana dengan gerakan sama
cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka.
Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya
untuk menendang dan tepat mengenai bawah
pundak kiri lawannya.
Duuhg...!
Wuuuus...! Brruk...!
Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani
yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau
beri kesempatan sedikit pun kepada lawan. Ia
gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya
disabetkan ke arah perut Tandak Ayu.
Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa
menangkisnya sambil ia berguling dan cepat
bangkitkan diri. Asap dan bau hangus tercium
hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua
pedang berkekuatan tenaga dalam itu.
Kini keduanya sama-sama berdiri tegak
lagi. Masing-masing mata tertuju dengan
tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih
memburu karena tendangan kaki Citradani
tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan
sehingga napasnya menjadi berat dihela.
Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri
semua, namun ditahannya kuat-kuat. Bahkan
Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan
Citradani.
"Kau tak akan berhasil menumbangkan
diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu
tidak kau suruh membantumu sekalian?"
Kirana merasa sebagai orang yang
dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya
semakin dibakar api kemarahan. Ia
menggeram dan mengepalkan kedua
tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan
tangan Suto.
"Kita menjadi penonton yang baik saja!"
kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas
desah kejengkelannya.
Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan
kirinya walaupun tangan kanan sudah
memainkan jurus pedangnya. Sentakan tangan
kiri keluarkan cahaya merah bagaikan selarik
sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu.
Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi
dengan cepat ia silangkan pedangnya di depan
dada. Sinar merah itu menghantam pedang
tersebut.
Blaaar...! Traang...!
Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan
keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat
pedangnya patah. Kini tinggal bagian
gagangnya saja yang digenggamnya. Maka
gagang pedang itu segera dibuang. Kedua
tangan segera dirapatkan. Melihat gelagat
begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau
merubah wujudnya. Maka serta-merta
Citradani melompat maju sambil tebaskan
pedang ke arah leher Tandak Ayu,
"Heaaah...!"
Craaas...!
"Aaauuh..." Tandak Ayu memekik
kesakitan. Telapak tangan kirinya putus
ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah.
Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari
pergelangan tangan. Hal itu membuat mata
Tandak Ayu berkunang-kunang. Citradani
mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak
mau buang buang waktu. Ia berbalik
memunggungi lawannya, namun pedangnya
segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan
dengan kuat. Jruuub...!
"Uuhg...?!" Tandak Ayu terpekik tertahan.
Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus
pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia
mengejang sesaat, lalu Citradani menarik
pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.
Brruk...! Tandak Ayu roboh dengan mulut
terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya
mulai terbeliak-beliak mendekati ajal.
Citradani dengan cepat melepaskan kalung
pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu.
Mulut perempuan yang menjelang ajal itu
bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar
sampai di telinga Suto dan Kirana.
"Sam... paikan... salamku... pada....
Wiratmoko..." Suto berkerut dahi mendengar
nama Wiratmoko, ia makin mendekati Tandak
Ayu bersama-sama Kirana. Saat itu Citradani
perdengarkan suaranya,
"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"
"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya
padaku..."
"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"
"Kkkau... akan... mati di tangan ... Iblis
Naga... Pamungkas itu..."
"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu?!"
"Wii...rat... mo... ko..."
"Wiratmoko?!" sentak Suto dengan amat
terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang
sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi
kendur, napasnya terhempas. Saat itulah
Tandak Ayu hembuskan napasnya yang
terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi
berkerut tajam.
"Wiratmoko...?!" gumamnya lagi dalam
kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk
Iblis Naga Pamungkas? Bukankah orang yang
berjuluk itu adalah si Raja Maut? Tapi... tapi
menurut keterangan Mega Dewi, ayahnya mati
di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika
lawannya itu mencabut pedang dan
menebaskannya di punggung Ki Lurah
Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak
mempunyai senjata pedang, tapi... tapi
Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang
pedangnya berbentuk kepala naga. Oh,
celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata
Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si Iblis Naga
Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki
Empu Sakya dalam bahaya!"
Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka
milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu
berarti dia dapat diterima kembali sebagai
murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil
Elang Putih.
Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung
inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko
adalah pemuda yang berhasil merayuku dan
mencuri kalung ini."
"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkatakata
karena ia melihat Suto segera berlari
meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak
keras,
"Suto, tungguuu...!" Kirana pun segera
menggunakan ilmu peringan tubuhnya, berlari
mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak
seperti anak panah lepas dari busurnya.
Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting,
Citradani pun ikut-ikutan berlari menyusul
Kirana.

7

KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak
berbalik arah dan meneruskan langkahnya,
maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng
Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun
kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab
siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur
di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu
mempunyai dahan yang berjajar rapat dan
enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan
tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat
seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat
ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat
lirih.
Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan
di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu
dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari
ketiga penunggang kuda tersebut mendengar
dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga
orang itu sempat beristirahat di bawah pohon
tersebut karena tak jauh dari sana ada
sendang kecil berair jernih. Mereka
menyempatkan cuci muka dan minum air
sendang itu.
Tiga orang tersebut adalah para utusan
dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh
golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa Tapak.
Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua,
tingginya sama, ilmunya pun sama setingkat,
keganasannya juga sama liarnya. Wajah
mereka tak ada yang menunjukkan wajah
damai. Bengis dan angker semuanya.
Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal
seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing,
mata cekung berkesan dingin, gigi tonggos
bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur
mempunyai kumis setebal Gaok Lodra,
matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai
codet di pipi kanan yang menambah angker
wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis
senjata besar. Pedang, sabit, dan rantai bola
berduri, semua berukuran besar. Mereka
mempunyai usia yang hampir sama, sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi tingkat
kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung
paling rendah kecerdasannya dibanding kedua
temannya itu.
Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan
suara keras ketika mengatakan,
"Yang penting kita sudah tahu letak rumah
Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru sampai di
sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil
kita rebut dan kita serahkan kepada sang
Ketua!"
"Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti
ember sumur yang bisa bocor sewaktu-waktu.
Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata
Nenggolo sambil mendekati kudanya.
"Di sini tak ada manusia, kenapa takut
bicara?"
"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia?!" hardik
Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada orang lain
kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga
mulut supaya tidak bicara sembarangan.
Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu,
lebih baik dengan berbisik saja!"
Nenggolo menyentakkan kepala Sabit
Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras!
Goblok! Memberi peringatan kepada teman
kok diri sendiri bicaranya keras-keras,"
Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia
duduk di batu tepat bawah pohon.
"Menurutmu apakah ada orang lain yang
mendahului kita merebut keris Pusaka Setan
Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit
Guntur.
"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu
Sakya bukan orang berilmu rendah. Hanya
kita-kita orang saja yang bisa mengungguli
ilmunya Empu Sakya!"
Mereka terus bicara, mengatur siasat dan
mencari kemungkinan-kemungkinan yang
perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari,
seseorang yang tidur di atas pohon itu
mendengar semua percakapan tersebut.
Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak,
namun telinga terpasang tajam, sehingga
suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki
Gendeng Sekarat.
Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga
utusan dari Gunung Sesat itu lanjutkan
perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya
salah seorang dari mereka pernah menyelidiki
rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis
keadaan di mana dan tempat-tempat yang
harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa
lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana
itu adalah Nenggolo, sehingga secara tak
langsung kedua temannya menganggap
Nenggolo sebagai ketua perjalanan.
Dengan mata masih lengket dan sukar
dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari
pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia hampir
jatuh terpelanting. Untung tangannya segera
berpegang pada batang pohon, tapi kepalanya
terbentur batang tersebut. Duug...!
"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya
buka mata sambil meringis mengusap-usap
keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia
masih dalam keadaan tertidur sambil
berjalan.
Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat
segera mengikuti tiga utusan tersebut.
Mulutnya berucap kata sendirian.
"Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa
Tapak! Untung mereka bicara di bawahku,
sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya
akan terdesak jika melawan mereka bertiga.
Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh
direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya
untuk selamatkan Keris Setan Kobra. Kalau
sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan
Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia
ini. Ratu keji tak berperasaan itu akan
melenyapkan semua penduduk bumi yang
tidak mau tunduk kepadanya. Tapi kalau bisa,
sebelum mereka tiba di desa Kukusan sudah
kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa
kerahkan tenaga untuk mengejar mereka!
Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau
aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki
Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah.
Tak heran jika ia mampu bergerak secepat
badai menerabas semak belukar memotong
arah untuk bisa menghadang tiga utusan
Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat
itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin
semilir dan rasa kantuknya datang lagi.
Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai
terangguk-angguk, namun langkah larinya
tetap cepat tak berkurang sedikit pun.
Bruus...! Serumpun pohon pisang
diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang.
Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi
hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan
terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa
kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat
tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia
menunggu tiga utusan yang menurut
perkiraannya tidak lama lagi akan datang
melalui jalan tersebut.
Beberapa saat kemudian, suara deru kuda
mulai terdengar di kejauhan. Makin lama
semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu
makin mendekati tempat Ki Gendeng Sekarat
menunggu mereka. Kejap berikutnya,
bayangan hitam tampak datang dari arah
barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di
balik pepohonan. Salah satu pohon randu
dihantam dengan pangkal telapak tangannya,
Duuugh...!
Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin
lama makin miring dan akhirnya tumbang
dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke
atas. Bruuuss....!
"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru
mengucal matanya. Tanah akar memercik dan
membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan.
Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah
yang masuk matanya, sedangkan tiga utusan
itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil
mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat
lompatkan badan dan lepaskan tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang
pohon jati.
Wuuut...! Duuugh...!
Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun
tumbang melintang jalan seperti pohon yang
tadi. Keadaan tersebut membuat tiga
penunggang kuda segera hentikan
perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak
dapat lewat begitu saja karena dahan pohon
mencuat ke sana-sini tak beraturan.
"Ada seseorang yang berniat menghadang
perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata Nenggolo
dengan mata memandang ke arah sekeliling.
Kedua rekannya itu pun memandang
sekeliling. Sabit Guntur perdengarkan
suaranya mirip orang menggerutu.
"Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia
mengetahui rencana kedatangan kita!"
"Kalian kalau bicara memang mirip mulut
kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan kepada
kedua rekannya. "Coba periksa di semaksemak
sebelah kiri itu!"
Gaok Lodra memacu kudanya untuk
menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab
pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran
sebetah kiri mereka. Gaok Lodra menerabas
masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di
sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu,
Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu dengan
waspada.
Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas
salah satu pohon yang masih utuh. Ketika
Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki
Gendeng Sekarat segera cabut kipas putihnya
lalu lompat ke bawah bagaikan kelelawar
terbang.
Wuuut...! Craaass...!
Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke
tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat
Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera
memandang tajam kepada Ki Gendeng
Sekarat. Orang yang dipandang hanya
tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup
dan ada di tangan kanannya.
"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok
Lodra tetap tenang di atas kuda.
"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah
bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku hanya
inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali
ke Gunung Sesat dan jangan coba-coba
merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu
Sakya!"
"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis.
"Kau belum tahu kekuatan orang-orang
Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam
ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat tak
akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak
satu pun ada yang mampu menahan niat kami,
tak satu pun ada yang mampu menyentuh
tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan
jangan halangi kami!"
"Betulkah tak satu pun ada yang mampu
menyentuh tubuh kalian?"
"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang
Gaok Lodra.
"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu
memotong telingamu."
Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang
daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin
itu. Dan ternyata daun telinga itu telah hilang
dari tempatnya.
"Hahhh...?!" Gaok Lodra terkejut sekali,
matanya terbelalak melihat tangannya
berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia
mulai meringis menahan rasa perih itu. Darah
pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga
membasahi pundak dan lengan kirinya.
"Telingaku ..?! Oh...?! Telingaku?!" suara
Gaok Lodra gemetar.
Ia baru menyadari bahwa daun telinganya
telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda.
Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada
saat ia meluncur turun dari atas pohon dan
mengibaskan kipasnya dengan sangat cepat,
sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si
korban.
Kemarahannya yang meluap membuat
Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia
hanya menggeram dengan wajah merah dan
gemetar.
"Bangsat kau...!"
"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"
Gaok Lodra segera cabut rantai bola
berduri dari tempatnya di pelana kuda.
"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa
kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang
hilang!"
"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar
merasa dipermainkan nafsu amarahnya.
Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur
mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan
Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras,
"Apa yang kau temukan di sana, Gaok
Lodra?!!"
"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek
tertahan dari dalam kerimbunan semak itu.
Suara pekik tertahan yang pendek itu
membuat Sabit Guntur menggerutu sambil
bersungut-sungut.
"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan
malah buang hajat dulu!"
"Memang menjengkelkan pergi bersama
Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat
buat buang hajat." Nenggolo menimpali.
Tapi beberapa saat kemudian terdengar
langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki
kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan
Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan
cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada
Sabit Guntur,
"Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia
habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan
menjengkelkan!"
Nenggolo palingkan wajah, buang muka
ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi
Sabit Guntur memperhatikan kemunculan
kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi
terbelalak ketika sosok kuda tunggangan Gaok
Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra
terkulai di atas punggung kuda. Keadaannya
masih seperti menunggang kuda, tapi
tubuhnya membungkuk ke depan sementara
wajah tertunduk.
"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur. Tapi
tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap
terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu
membuat Nenggolo segera palingkan wajah
dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda
mendekat dengan sendirinya. Nenggolo
menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok
Lodra.
"Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher
Gaok Lodra telah robek dan orang itu tidak
bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi
panik, tegang, senjata mulai dicabut karena
sadar ada musuh di balik semak belukar itu.
"Serang dia!" perintah Nenggolo sambil
memacu kudanya untuk menerabas masuk ke
semak ilalang yang rimbun itu.
Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!
Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di
udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok
Lodra berdiri. Sedangkan kedua musuhnya
masuk ke dalam mencarinya sambil
meluncurkan kata makian yang kasar dan
kotor, sulit ditirukan.
Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan
kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok
Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke
arah semak-semak tempat kedua temannya
mencari musuh itu. Wuuut...! Buuhg...!
"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia
kejatuhan mayat Gaok Lodra. Ki Gendeng
Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap
menunggu kemunculan lawannya dengan
terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan
Gaok Lodra.
"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk
Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di
jalanan!"
Kedua kuda muncul bersama
penunggangnya yang sudah semakin merah
wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri
dengan berkipas-kipas santai, Nenggolo segera
melompat dari punggung kuda bersama
pedang besarnya yang mampu untuk
memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.
"Hiaaat...!"
Wuuung...! Suara pedang besar
mendengung ketika menebas tempat kosong,
karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada
di sisi lain yang berlawanan arah dengan
serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di
belakang kedua tunggangan Sabit Guntur
membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan
ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja
ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.
Cruk...!
"Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil
terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar
ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan
telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa
permisi menginjak-nginjak dada dan perut
Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang
karena merasa sakit yang amat berat akibat
ditusuk pakai ujung kipas.
"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah
bernapas karena dadanya terasa remuk
diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia
berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha
mencari kesempatan untuk menghirup udara.
Mulutnya tercengap-cengap dengan mata
sesekali terbeliak.
"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah?!"
bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat.
Pedangnya siap terangkat di atas kepala
dengan kuda-kuda siap serang.
"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa
Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat
tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu
Sakya!"
"Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!"
Nenggolo menyerang maju dengan pedang
dikibaskan ke berbagai arah secara cepat.
Bunyi gaung dari logam besar itu sempat
membuat daun-daun ilalang terbabat putus
dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas
pedang itu disertai tenaga dalam tinggi yang
memancar ke sana-sini. Tetapi Ki Gendeng
Sekarat tetap berdiri tegak dan berkipas-kipas
dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas
itu menolak datangnya kekuatan tenaga
dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun
kipas itu hanya bergerak pelan, namun
memancarkan angin penolak tenaga luar yang
cukup kuat. Nenggolo beberapa kali tersentak
mundur ketika mau dekati Ki Gendeng
Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti,
Nenggolo berhasil mendekat dan tebaskan
pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat.
Wuuut...! Slaap...!
Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki
dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga
pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya.
Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak
maju menendang tepat di dahi Nenggolo.
Praak...!
Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang
sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat
dan keras membuat darah menyembur dari
mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang
itu pun terpelanting memutar sambil tetap
memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit
Guntur baru saja berdiri dan siap
menggunakan sabitnya.
Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai
dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri
Sabit Guntur tanpa disengaja. Craas...!
"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keraskeras
karena tangan itu segera putus tepat
pada bagian siku. Tangan yang buntung
membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia
menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.
Claap...! Sinar biru petir menyambar ke
arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki
Gendeng Sekarat sinar biru itu dikibaskan
memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah
dan tepat mengenai tengkuk kepala Nenggolo.
Blaaar...!
Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus
terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu.
Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya
justru memotong leher teman sendiri.
"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur
mengibaskan sabitnya beberapa kali, sehingga
sinar biru petir terlepas dari ujung sabit,
jumlahnya lebih dari lima sinar. Semuanya
tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Dengan menggunakan kipasnya. Ki
Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke
arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda
apa saja yang dicapainya. Bunyi ledakan
dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua
batang pohon dan yang terakhir membuat Ki
Gendeng Sekarat terpental ke belakang,
karena salah satu sinar biru petir sengaja
ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya daya ledak
itu menghentak melemparkan Ki Gendeng
Sekarat ke belakang. Bruuk!
"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau
patah kalau begini?!" gerutu Ki Gendeng
Sekarat sambil mencoba bangkit kembali. Tapi
pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak
akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat
segera lompat ke kuda bekas tunggangan
Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan
ia memacu kudanya, melarikan diri,
meninggalkan tempat tersebut. Ki Gendeng
Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena
tulang punggungnya terasa ngilu sekali.
Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur,
muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke
arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat Ki
Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya
untuk merobek kulit tubuh bayangan yang
baru datang. Namun gerakan itu segera
tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera
mengetahui bahwa bayangan yang datang ke
arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar
Mabuk.
"Ki Gendeng Sekarat...?!"
"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru
sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng
Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil mencari
tempat untuk duduk. Sebatang kayu yang tadi
ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya
terlepas lega. Sementara itu Suto Sinting
memandangi mayat Nenggolo dan potongan
tangan Sabit Guntur.
"Apa yang terjadi, Ki?"
"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya
untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka
orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak
buah Ratu Tanpa Tapak!"
"Ratu Tanpa Tapak?!" gumam Suto Sinting
dengan dahi kian berkerut.
"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini?
Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"
"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya
untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega
Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."
"O, ya... aku kenal orang itu!"
"Mereka terancam maut di tangan iblis
Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."
"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas
itu siapa? Wiratmoko?!"
"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga
mengancam nyawamu. Kaulah sasaran
berikutnya."
"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng
Sekarat sambil matanya menyipit, menatap
arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa
lama.
"Tapi ketika aku tiba di rumah Empu
Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"
"Maksudmu?"
"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di
tempat. Keadaan rumahnya sudah porakporanda.
Aku tak tahu pasti apakah mereka
dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau
melarikan diri dan sekarang masih dalam
pengejaran murid Dampu Sabang itu?!"

8

RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui
akan kedatangan Wiratmoko yang membawa
Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum
musibah itu datang, firasat batin Ki Empu
Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia pun
segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja
gadis itu merasa bingung ketika tahu-tahu
disuruh berkemas dan diajak pergi.
"Kita mau ke mana, Ki?!"
"Ke mana saja, yang penting selamat untuk
dirimu," jawab Ki Empu Sakya.
"Selamat? Apakah jiwaku terancam
bahaya?"
"Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga
dalam bahaya."
"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."
Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakya
baru menjelaskan maksudnya kepada Mega
Dewi.
"Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke
rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan
pusakaku."
Mega Dewipun segera terkejut mendengar
penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena
hatinya diguncang rasa takut namun dibakar
rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi punya
gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas
itu.
"Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah
pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk
membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga
Pamungkas.”
Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan
membiasakan dendam bersarang dalam
hatimu, Anak Manis. Kematian adalah
perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam
fana, dan perjalanan awal dari suatu
kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru
dengan dendam. Itu hanya akan merusak
ketenangan jiwamu."
"Tapi... orang itu memang layak
dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan
korban lebih banyak lagi."
"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi.
Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi
jika ketinggian ilmumu tidak seimbang, sama
saja kau akan menemui ajal di tangannya.
Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk
menentukan kemenangan. Tergantung
ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika
lawanmu tidak akan menyerang, maka kau
tetap akan menang dengan menggunakan keris
pusakaku itu."
"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi
memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau
tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah
keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"
Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa
pun menggali rumahku tidak akan menemukan
Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan
di suatu tempat yang tak mudah diketahui
oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."
"Tapi..."
Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena
Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega
Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan
tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang
rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar
suara langkah kaki orang mendekat ke
arahnya juga detak jantung orang lain yang
ada di kejauhan sana.
"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega
Dewi.
"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang
bergerak kemari. Sebentar lagi kita akan tahu
siapa orangnya."
Anehnya telinga Mega Dewi tidak
mendengar suara langkah kaki orang. Yang
didengar hanya hembusan angin lereng bukit.
Bahkan mereka sempat mendekam di semaksemak
itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai
terasa pegal.
"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu
Sakya sudah mendengar langkahnya. Sungguh
tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."
Mulanya Mega Dewi sempat sangsi,
"Jangan-jangan tak ada yang datang kemari?!
Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang
datang, uuh...! Menyebalkan sekali. Pasti Ki
Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah
duga."
Tapi beberapa saat setelah membatin kata
begitu, gadis berkepang dua mendengar
langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah
itu makin mendekat ke arahnya. Mega Dewi
menjadi yakin, memang ada yang mendekati
tempat mereka.
Sesosok tubuh kecil muncul dari balik
tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu
Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu
keduanya berdiri dan keluar dari
persembunyian.
"Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari.
Angon Luwak?!" tegur Ki Empu Sakya kepada
bocah penggembala kambing itu.
"Aku hanya ingin beri tahukan padamu,
Ki... ada orang yang mengobrak-abrik
rumahmu. Orangnya membawa pedang
bergagang kepala naga dari logam putih."
tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.
"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi
percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu
Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian
ilmu orang tua bertubuh kecil itu.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa
dulu. Mudah-mudahan belum tertutup
reruntuhan batu."
"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.
"Apakah kau tak akan dicari oleh
orangtuamu?"
"Orangtuaku yang suruh aku
memberitahukan padamu tentang kedatangan
orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan
lugu.
"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi
tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak
ada orang yang sanggup menggendongmu."
"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon
Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu
sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga
menyukai petualangan di rimba persilatan.
Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih
yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki
Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk
masuk ke dunia persilatan golongan putih.
Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki
Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya
sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.
Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega
Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu,
Wiratmoko sedang sibuk membongkar seluruh
isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan
kasar, sehingga rumah bambu itu sempat
miring ke kiri karena diguncang kekasaran
Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali
menemukan rumah itu telah kosong, bahkan
keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.
Saat ia keluar untuk mencari jejak
kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul
seorang berpakaian serba merah. Rambutnya
panjang berwarna merah, juga jenggot dan
kumisnya yang berwarna merah. Orang
bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar.
Wajah angkernya tampak menyeramkan.
Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.
"Oh, rupanya kau datang untuk maksud
yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko
kepada orang yang berusia sekitar empat
puluh tahun itu.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu
Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu,
Wiratmoko!"
"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit
sebelum aku datang!" kata Wiratmoko dengan
sikap sombongnya.
"Apakah dia lari membawa pusakanya?"
"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan
kini baru saja selesai kusembunyikan," jawab
Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak
akan memburu pusaka itu lagi jika sudah
ditemukan oleh dirinya. Tapi rupanya Dewa
Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang
dikenal di rimba persilatan dengan keganasan
napas apinya itu dulu pernah dihajar habis
oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi
sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu
melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu
golongan hitam yang punya musuh banyak dan
ingin membalas dendam kepada musuhmusuhnya
dengan menggunakan keris
pusakanya Empu Sakya. Karenanya, dengan
penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko
untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra
kepadanya.
"Apa pun ancamanmu aku tidak akan
serahkan keris itu, Dewa Api!"
"Kalau begitu kau harus lumer di ujung
napasku, Wiratmoko!"
"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata
Wiratmoko dengan tenang. Dewa Api agaknya
belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah
berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas
yang konon telah terkubur ratusan tahun,
milik seorang raja penguasa alam gaib.
Kedua tangan Dewa Api yang berkuku
panjang itu segera membentang terbuka.
Kedua kakinya pun merendah, matanya
memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak
punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau
membuang— buang waktu, maka dicabutlah
Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya.
Sraang...!
Dewa Api sempat terkesip melihat pedang
itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya.
Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera
disingkirkan dengan bantahan, "Tak mungkin
anak ingusan itu memiliki Pedang Naga
Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."
"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko
memancing kemarahan Dewa Api.
"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas
dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi
lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi.
Woosss...!
Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan
bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa
Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan pukulan
tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan
kanannya. Ujung kelima jari keluarkan lima
larik sinar merah api yang bertujuan
membungkus tubuh Wiratmoko. Tetapi
Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit
dengan menggulingkan tubuh ke tanah,
sehingga lima larik sinar itu mengenai
sebatang pohon dan pohon itu terbakar
dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk
daunnya lagi kecuali kobaran api yang
mengerikan.
Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah,
kaki Dewa Api berusaha menginjaknya.
Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah
yang terkena injakan kaki menjadi hangus dan
berasap. Warna tanah menjadi hitam arang.
Wiratmoko berkelebat bangkit dalam
liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat
ketika ia tegak, tubuhnya merendah dan
pedangnya menebas dengan cepat dari kanan
ke kiri. Wuuut...! Crass...!
"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan
perutnya robek terkena pedang lawan. Luka
itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin
lama makin tebal. Asap putih kekuningkuningan
itu bagai keluar dari luka panjang di
perut. Semakin lama asap itu semakin banyak,
semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau
ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal
itu tidak menolong. Asap kian rapat
membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api
segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia
roboh tanpa suara dan asap masih
membungkusnya. Beberapa penduduk desa
memperhatikan pertarungan itu dari jarak
jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika
asap itu hilang dan tubuh Dewa Api telah
berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka
keropos, seperti kerangak mayat yang sudah
puluhan tahun lamanya.
"Edan! Senjata apa itu membuat lawan
bisa jadi kerangka seketika?!" bisik salah
seorang penduduk desa.
"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia
dengar dan menghampiri kita. Kita bisa dibuat
menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita
mau cuci muka bagaimana, coba?! Ayo, pergi
saja sebelum dia mendatangi kita!" kata
teman orang tadi. Ia sangat ketakutan dan
wajahnya menjadi pucat.
Seorang perempuan desa yang tak
seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu
Sakya segera didekati Wiratmoko. Tentu saja
perempuan itu menggigil ketakutan karena ia
juga mengintai pertarungan tadi. Ia merasa
ngeri membayangkan nasibnya akan seperti
Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam
itu melakukan hal yang sama seperti tadi.
Ternyata Wiratmoko hanya bertanya,
"Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya
dan seorang gadis cantik berpakaian hijau?"
"K... ke... ke selatan," jawab perempuan
itu merasa lebih baik berterus terang daripada
bernasib seperti Dewa Api.
"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan
senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas
ke arah selatan.
Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu
Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah
berantakan. Ia ingin menanyakan kepada
salah satu penduduk desa tersebut, tapi tibatiba
mendengar ledakan di tempat
pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga
niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat.
Kini setelah Suto datang bersama Ki
Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan
perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan
yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko.
Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki
Gendeng Sekarat adalah orang yang lebih
kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut
dijawab dengan benar.
"Mereka... mereka pergi ke selatan!"
"Apakah bersama orang lain?"
"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang
pemuda tampan yang membunuh orang besar
sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya
ke selatan."
"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya
pergi ke selatan?"
"Saya memberitahukan. Karena... karena
saya takut," jawab perempuan itu dengan
polos.
Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya
bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit
menuju goa, gerakannya terlihat oleh
Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu
tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara
langkah kaki membuat Ki Empu Sakya segera
menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk
bersembunyi.
"Terpaksa aku harus menghadapinya.
Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri
untuk tidak melakukan pertarungan dengan
siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa.
Apa boleh buat."
"Tapi kau tidak membawa keris pusaka,
Ki!"
"Akan kuhadapi tanpa pusaka itu. Cepatlah
bersembunyi!"
Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin
menghindari Wiratmoko dengan melarikan
diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan
berhasil menemukannya. Maka pilihan terakhir
membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap
menunggu kedatangan lawannya di tanah
datar berpohon jarang itu.
"Kalau memang bisa kukalahkan dengan
omongan, tak akan kulakukan pertarungan.
Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan
dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan
ini merupakan pertarungan akhirku!" ucapnya
bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega
Dewi mendengar dari tempat persembunyian.
Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko
sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu
Sakya hanya diam saja. Matanya memandang
tajam tak berkedip, penuh wibawa dan
kharisma.
"Apa maksudmu mengejar-ngejarku,
Wiratmoko?!"
"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."
"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah
kuketahui itu salah, karena tidak selamanya
orang sesat akan berjalan di tempat yang
salah. Suatu saat dia akan kembali ke jalan
yang benar. Siapa tahu kau kembali ke jalan
yang benar! Jadi aku perlu menanyakan
maksudmu, Wiratmoko!"
Tawa Wiratmoko bernada angkuh,
melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya.
"Tiap orang punya pandangan yang
berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh
memandang langkahku adalah sesat, tapi aku
menganggap langkahku ini benar. Setia pada
perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris
pusakamu itu hanya semata-mata agar jangan
jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak
mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki
Empu Sakya. Aku khawatir keris itu mampu
direbut oleh orang serakah. Aku akan
mempertahankan dan menyelamatkannya."
"Gurunya sendiri sesat, bagaimana
muridnya?!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu
muncul dari persembunyian. Rupanya Mega
Dewi tak tahan menyimpan dendam dan
kebencian di balik persembunyiannya. Ia
keluar dengan mata tajam penuh tantangan.
Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan
tenang, bahkan sempat tersenyum sinis
memuakkan hati gadis berkepang dua itu.
"Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya.
"Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi
orang ini!"
"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti
ayahku, aku rela mati sekarang juga! Pemuda
iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak
mau takut oleh pusakanya. Aku pun punya
pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu.
Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia
tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman
yang amat dalam. Ia bahkan maju mendekati
Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko
dengan mata menyipit benci.
"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan
ketangkasan!"
"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.
"Biarkan aku menghadapinya, Ki!
Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut
pedangnya dan segera lompat serang
Wiratmoko. Wuuut...!
Wiratmoko sempat terkejut dengan
hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia
cepat hindarkan diri dengan lompat ke
samping yang membuat tebasan pedang
pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang
yang menyerupai pisau itu segera dikibaskan
ke samping, breet...!
Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya
tergores ujung pisau tajam. Kemarahan
Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian
Mega Dewi kian tinggi.
Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang
Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari
mata pedang. Ki Empu Sakya mulai cemas.
Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat
menerjang Wiratmoko sambil tangan kirinya
menyentakkan pukulan berwarna sinar merah,
sedangkan tangan kanannya menyambar tubuh
Mega Dewi. Wuuut...! Claap...! Blaar...!
Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar
merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman
keras menggelegar membanana, namun tidak
menimbulkan sentakan kuat yang mampu
mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.
Gema ledakan itu diterima oleh telinga
Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat.
Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian
jelas. Dalam sekejap mereka sudah sampai ke
tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu,
Ki Empu Sakya sedang menuju Mega Dewi
untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi
memberontak terus, akhirnya Ki Empu Sakya
menotok jalan darahnya.
Deb...!
Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi
matanya masih bisa memandang dan
memahami keadaan sekeliling. Sedangkan
Angon Luwak masih ada di tempat
persembunyiannya. Ketika ia melihat
kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya
menjadi girang, wajahnya pun ceria.
"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara
pelan. Wiratmoko tersenyum kalem melihat
kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga
Pamungkas masih tergenggam di tangannya.
Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko
dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak
jadi lanjutkan langkahnya, karena mereka
segera mendengar suara Suto berkata kepada
Wiratmoko dengan nada tegas.
"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku,
Wiratmoko!"
"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut
campur urusan ini, karena di antara kita tidak
punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan
diri dalam permasalahanku, Sobat."
"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk
membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat.
"Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah
ada di depanmu!"
"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng
Sekarat, kumohon dengan hormat,
menyingkirlah dan biarkan aku yang
menghadapinya."
"Aku masih mampu melumpuhkan tikus
sawah itu! Biarkan aku saja!"
"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"
"Tidak!"
"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru
Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat jadi
memandang, lemas, dan akhirnya ia
melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan
gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng
Sekarat tak akan berani menentang keputusan
Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto
bukan semata-mata untuk
menyombongkan gelar kehormatannya, namun
hanya untuk menghindari korban yang tak
diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng
Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri
untuk tidak pedulikan wajah kecewa Ki
Gendeng Sekarat itu.
"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa
yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi jika
kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan
tugas dari gurumu yang sesat itu. Jangan
gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu.
Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan
jadilah pembela kebenaran."
"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan
meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau
telah pastikan diri sebagai tandinganku,
sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau
akan menjadi kerangka tulang keropos dalam
waktu kurang dari seratus hitungan, Suto
Sinting!"
Suto pun melangkah ke kiri ketika
Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka
membentuk lingkaran gerak dan masingmasing
memandang dengan mata tajam penuh
kewaspadaan. Suto Sinting telah
memindahkan bumbung tuaknya ke tangan,
sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan
sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan
senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi kepulkan
asap terus, seakan dalam kelaparan dan
menunggu mangsanya tiba.
"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang
dengan satu lompatam rendah. Pedang
ditebaskan dari atas ke bawah.
Blaaar...!
Pedang itu membentur bambu tuak.
Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi
akibat benturan itu, gelombang ledakan
terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar
hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri
semula. Ia segera bangkit, lalu dengan
lompatan ringan yang menghasilkan tenaga
tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan
pedang terarah ke depan. Sasarannya adalah
dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang
itu sudah mendekat, tiba-tiba Wiratmoko
menggerakkan pedang ke bawah, lalu
menebas ke samping. Wuuut...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat
tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko.
Kakinya segera menendang ke depan. Dees...!
Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto.
Pemuda itu terpelanting jatuh akibat
tendangan keras yang membuat telinganya
mulai berdarah.
Wiratmoko berlutut setengah merangkak
merasakan sakit di telinganya. Ia yakin
gendang telinganya menjadi pecah akibat
tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah,
sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat
melancarkan jurus 'Pedang Sapu Jagal'.
Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh
mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya
membuat tangan Suto menggerakkan bumbung
tuak untuk menangkisnya. Trang...! Duaaar...!
Suto memutar tubuh, bumbungnya
disodokkan ke belakang, tepat mengenai
punggung Wiratmoko. Buuhg...!
"Hegghh...?!" Wiratmoko mendelik,
napasnya bagai tersumbat dan tak mampu
dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat
kering karena sodokan bambu itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun
segera menguasai keadaan dirinya dengan
mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya.
Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.
"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya
melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak bisa
menggunakan wujud nyata dalam
menyerangnya," pikir Wiratmoko.
Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan
sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan,
belakang, memutar, dan begitu seterusnya
sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus
asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal
dan sepenuhnya raga Wiratmoko berubah
menjadi asap.
Suto Sinting mencoba menyodokkan
bambunya, tapi menemui tempat kosong.
Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu
masih tetap menggenggam pedang walau tak
terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang
ada di situ mempunyai rasa kagum yang tak
sama besar-kecilnya. Wuuus...!
Pedang itu berkelebat nyaris merobek
punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari
dengan berguling ke depan satu kali dan
kembali berdiri dengan sigap.
"Suto akan kewalahan jika melawan asap
begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir Ki
Gendeng Sekarat. Tetapi apa yang dipikirkan
Ki Gendeng Sekarat ternyata berbeda dengan
apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.
Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting.
Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu
yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan
ke depan. Ketika Wiratmoko bergerak dalam
bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya
kembali, kaki Suto pun menghentak ke tanah
satu kali. Duug...!
Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar
tenaga penghisap yang amat kuat. Asap
tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung
bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang
berseru lantang,
"Hai, jurus apa ini?! Hai... tunggu! Tunggu,
Suto....!"
Syuuurrp...!
Deb...! Suto segera menutup lubang
bambu ketika asap itu tersedot habis masuk
ke dalam bambu. Terdengar suara Wiratmoko
menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh,
aaauh...! Hai, siapa yang menghajarku ini?!
Hai... aauh... aaauh... huuggh...!
Sutooooo...!"
Di dalam bumbung itu tersimpan cincin
Manik Intan yang mempunyai kekuatan
tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah
yang menghajar Wiratmoko di dalam bumbung
bambu. Yang jelas seruan dan ratapan
Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting.
Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut
tersedot ke dalam bambu itu segera
dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto
terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih
dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak. Semua
mata memandang kaget kepada Angon Luwak.
"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya
itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu
Sakya.
"Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati
Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan gurunya
Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu
genggamannya. Gagang pedang diremas kuatkuat.
Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus.
Lalu mata pedang yang berasap itu pun
diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan
memancar. Tapi mata pedang itu pun hancur
menjadi serbuk halus. Toosss...!
"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat
tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap
usap rambut Angon Luwak.
"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan
pakai pedang ini lagi, Guru!"
"Bagus, bagus, bagus...!" Ki Gendeng
Sekarat manggut-manggut, membuat Suto
Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli
melihat kebanggaan Angon Luwak, walau tadi
Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon
Luwak meremukkan gagang Pedang Naga
Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak
menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan
'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu
bahwa Ki Gendeng Sekarat telah memberikan
ilmu itu kepada Angon Luwak.
"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan
totokan Mega Dewi."
"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"
Taab...! Ki Empu Sakya bebaskan totokan
Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto
telah melesat pergi dengan cepatnya. Mega
Dewi melihat Suto sudah ada di seberang
jauh, di kaki bukit tersebut.
"Sutooo...! Mau ke mana kau?!"
"Membuang asap ini ke Sumur Tembus
Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena
menurutnya tak ada tempat lain untuk
memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur
Tembus Jagat. Sedangkan Wiratmoko yang
ada di dalam bambu itu menjadi amat
ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke
Sumur Tembus Jagat.
"Jangan, Suto...! Jangan buang aku ke
sana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"
Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke
Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur
Tembus Jagat berada.
"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain
adalah Kirana. "Aku ikut!" Gadis itu pun berlari
mengejar Suto, kini ia tidak bersama
Citradani, sebab Citradani harus segera pulang
ke Kuil Elang Putih untuk serahkan kalung
pusaka Lintang Suci itu. "Aku ikut, Sutooo...!"
"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil
membiarkan dirinya dikejar Kirana yang cantik
dan bandel itu.
SELESAI